Home > Education > Political Marketing > Paradoks Politik Agama

Kecenderungan yang terus menurun dari pencapaian suara partai politik berbaju agama pada era reformasi menjadi penanda semakin meredupnya pesona dari partai agama di hadapan konstituen politik di Indonesia.

Seperti dilaporkan Kompas (9/5), dibandingkan dengan pemilu demokratis pertama tahun 1955, suara partai politik berbasis agama ini cenderung menurun dan untuk partai Islam cenderung stagnan.

Apakah fenomena ini memperlihatkan semakin terbuka dan bebasnya perjalanan politik kita berjalan searah dengan menurunnya minat publik terhadap politik agama?

Tulisan ini berusaha untuk memberikan penjelasan hemat dan padat terkait dengan persoalan tersebut.

Problem tak memikatnya partai agama bukan sekadar gejala privatisasi agama saat warga tak lagi memperbincangkan persoalan agama di ranah publik. Fenomena ini memperlihatkan hadirnya paradoks politik agama di Indonesia.

Pada satu sisi publik semakin memiliki perhatian terhadap kesalehan sosial, di sisi lain keadaban politik dari aktor partai politik berbasis agama semakin merosot. Tulisan ini selanjutnya akan mendiskusikan bagaimana keterbukaan panggung demokrasi memperlihatkan realitas tersebut semakin jelas dan terbuka.

Tiga paradoks

Setidaknya ada tiga paradoks politik agama yang memperlihatkan bagaimana kemerosotan keadaban politik aktor parpol agama berbanding terbalik dengan berkembangnya perhatian warga terhadap kesalehan sosial publik.

Semakin tingginya ketaatan publik untuk menjalankan ibadah, seperti yang pernah diteliti Saiful Mujani dan William Liddle (1999), memang di satu sisi tidak berkorelasi terhadap orientasi politik untuk memilih partai agama.

Namun, yang menarik, menguatnya religiositas publik saat ini menumbuhkan kesadaran akan komitmen terhadap sistem nilai profetik yang semakin peduli terhadap dimensi etis politik, seperti antikorupsi, kebersihan moral politisi, serta sikap-sikap amanah dan transparansi antara elite politik dan warga.

Meningkatnya semangat keagamaan publik tidak hanya berhenti pada tingkat kesalehan formal, tetapi juga bergerak meluas pada kerinduan akan hadirnya atmosfer politik yang lebih bersih. Fenomena ini muncul, misalnya, pada menguatnya kritik publik terhadap kemerosotan keadaban politik, seperti pada kasus Century, rencana pembangunan gedung baru DPR, dan karakter korup politisi.

Di sisi lain, semakin lama parpol berbaju agama semakin terlihat tidak mampu memperkuat sistem nilai keagamaan mereka sebagai karakter politik.

Dugaan permainan transaksi politik uang, isu korupsi, dan pencederaan moralitas, seperti yang terpampang saat politisi parpol bernuansa agama melihat video tak pantas di ruang sidang, memperlihatkan paradoks tersebut. Aktor parpol agama terlihat tidak mampu memenuhi tuntutan publik yang semakin peduli terhadap kesalehan sosial dan semakin tidak peduli terhadap klaim politik formalis agama.

Paradoks kedua

Paradoks kedua terkait dengan semakin menguatnya kesalehan sosial dalam konteks kualitas inklusif demokratis di kalangan lapisan terbesar warga di Indonesia. Proses perjalanan demokrasi di Indonesia memperlihatkan semakin terinkulturasinya jalinan persenyawaan keindonesiaan dan keislaman, pada silent majority publik Indonesia.

Evolusi senyap kesadaran publik agama di Indonesia memperlihatkan berseminya kesadaran yang ditanamkan oleh para mendiang guru bangsa, seperti Nurcholish Madjid dan KH Abdurrahman Wahid, tentang pentingnya sinergi keindonesiaan, keislaman, dan kemodernan.

Inklusivitas karakter warga ini memperlihatkan semakin lebarnya pilihan publik tidak hanya terbatas pada pilihan partai agama. Kesadaran baru tersebut adalah menguatnya kesalehan agama senapas dengan komitmen terhadap nilai demokrasi. Sementara partai agama di satu sisi masih tertambat pada lapak dagangan lama, seperti isu peraturan daerah berbasis syariah. Pada sisi lain, mereka seperti bungkam dan tidak bersuara terhadap isu toleransi, seperti pencederaan terhadap minoritas. Pada konteks ini semakin menguatnya kesalehan sosial publik tak terjawab dengan elok oleh perilaku politik elite parpol agama.

Paradoks ketiga

Paradoks ketiga adalah ekspose yang makin menguat terhadap isu keadilan sosial warga.

Elizabeth F Collins (2007) dalam Indonesian Betrayed: How Development Fails memperlihatkan munculnya kesadaran publik bahwa kegagalan pembangunan berbasis neoliberalisme membawa mereka lebih selektif terhadap klaim politik Islam. Hanya visi dan program politik yang menawarkan tata keadilan lebih baik dan inklusif yang akan memikat mereka. Pada sisi ini partai Islam gagal menjawab tantangan tersebut.

Perubahan demokratis tidak mampu menggerakkan mereka untuk membangun konstruksi kreatif program ekonomi politik yang berpijak pada keadilan dan memikat konstituen. Dengan demikian, saat posisi politik parpol Islam tak jelas dalam soal keadilan, sementara isu politik formalis tak lagi laku, posisi mereka semakin terpuruk.

Dari paradoks ini muncul pertanyaan, bukanlah problem etik moral ini tidak saja melanda partai agama, tetapi juga meluas di semua parpol. Memang runtuhnya keadaban politik ini dialami oleh semua partai, tetapi parpol berbaju agama akan menghadapi sanksi pukulan yang lebih kuat, mengingat mereka menawarkan klaim agama di tengah kualitas keagamaan publik yang semakin menguat.

Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

Source: Kompas.com

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik
Elemen Kejutan dari Pencalonan Anies
Pakar: Golkar Tengah Mainkan Strategi Marketing Politik

Leave a Reply