BANDA ACEH – Dicabutnya syarat mampu baca bagi calon anggota legislatif di Aceh membuat partai lokal (parlok) menjadi lebih spesial dibandingkan partai nasional. Dengan demikian, identitas keacehannya semakin terlihat. Pun begitu ada juga yang kontra.
Pakar hukum Unsyiah, Taqwaddin, SH, ketika diminta tanggapannya mendukung keputusan Mendagri yang menyatakan, Pasal 36 Qanun Nomor 3 tahun 2008 yang mengatur tentang persyaratan dapat membaca al-Quran bagi calon anggota DPRA dan DPRK dari partai politik nasional (Parnas) harus dicabut.
Kecuali itu, Mendagri juga tidak mencoret Pasal 13 Qanun/Perda Nomor 3 tahun 2008 tentang syarat baca al-Qur’an bagi calon legislatif. Lebih lanjut, Mendagri meminta penjelasan soal indikator yang jelas terhadap uji kemampuan baca al-Qur’an sehingga tidak menimbulkan konflik dalam penerapannya.
“Itu sudah tepat karena tidak ada korelasi antara kemampuan membaca al-Qur’an dengan moral dan perilaku anggota legislatif. Terlebih lagi tak ada pula korelasi dengan kinerja mereka dalam menjalankan amanah rakyat,” paparnya kepada Waspada, Jumat (1/8).
Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini, menyebutkan urusan itu masing-masing parpol. “Yang paling penting mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, sekalipun tidak ada tesnya. Perilaku jujur, amanah, bertanggungjawab dan cerdas harus melekat dalam sikap dan kebiasaan sehari-hari,” ungkap mantan ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh ini.
Begitu pula dengan Tgk. H. Faisal Ali, yang menyebutkan hal itulah yang menjadi perbedaan antara parlok dengan parnas. “Ini sesuatu yang bagus bagi publik serta menjadikan sisi pembeda antara parlok dan parnas,” ungkap Sekretaris Himpunan Ulama Dayah (HUDA) itu secara terpisah.
Dari kacamata Faisal Ali, parlok yang sudah identik di Aceh makin lengkap identitasnya dengan nilai-nilai keacehan pada mampu baca al-Qur’an bagi politisinya. “Inilah kelebihan parlok. Kalau sama-sama baca al-Qur’an, jadi tak ada beda antara parlok dan parnas,” kata dia seraya mengajak ‘tutup’ mata dulu soal diskriminasi.
Pendapat itu didukung Ketua Umum DPP Partai Bersatu Aceh (PBA), Humam Farhan Hamid. “Masalah syarat baca al-Quran itu tidak perlu diperdebatkan lagi karena peraturan itu positif bagi parlok. Syarat itu juga salah satu kekhususan bagi Aceh, yang tidak diberlakukan bagi daerah lainnya di Indonesia,” ungkap Farhan kepada wartawan.
Politisi PAN ini berargumen, syarat mampu baca al-Quran bagi calon anggota DPRA dan DPRK lebih menguntungkan parlok. Kata dia, dengan seperti itu, masyarakat akan mengetahui kualitas wakil-wakil rakyat yang akan mereka pilih pada Pemilu legislatif 2009.
Mendagri, HM Mardiyanto dalam suratnya tertanggal 18 Juli 2008 soal klarifikasi Qanun No.3/2008 yang dikirim kepada Gubernur Aceh menyebutkan, Pemerintahan Aceh hanya berwenang mengatur parlok, sedangkan parnas tetap menggunakan peraturan sendiri yang berlaku secara nasional.
Lain lagi dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Rakyat Aceh (PRA), Thamren Ananda. Ketika menanggapi koreksi Mendagri itu dia mengatakan, pada prinsipnya PRA tidak keberatan atas pencabutan Pasal 36 Qanun No.3/2008, namun dikhawatirkan akan menimbulkan konflik baru.
Masalahnya, lanjut Thamren, caleg yang akan dipilih sama-sama akan duduk di DPRA dan DPRK, sehingga ada perbedaan, yang satu harus tes kemampuan baca al-Quran yang satu lagi tidak. “Ini agak aneh dan dkhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan,” katanya.
Atas dasar itu, politisi muda ini berharap DPRA meninjau ulang pasal 13 tersebut. “Kalau memang Mendagri mencoret pasal 36, DPRA yang membuat qanun itu mencoret juga pasal 13, sehingga tidak adanya diskriminatif,” ujar dia.
Pada sisi lain Thamren melihat jika akan terjadi konflik akibat pasal 36 dan pasal 13, maka Mendagri dan DPRA harus bertanggungjawab. “Sebaiknya itu tidak dicabut. Bagaimana kita memperbaiki moral anggota dewan, kalau dia tidak mampu membaca pesan-pesan al-Qur’an,” timpal Tgk. Bulqaini Tanjung, ulama dayah lainnya.
Bertentangan
Menurut Ketua Umum Kesatuan Aksi mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) NAD, Basri Effendi, kebijakan Mendagri tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan kondisi daerah Aceh yang memberlakukan Syariat Islam bagi masyarakatnya.
“Seharusnya Mendagri dapat memahami pasal itu perlambangan Syariat Islam yang merupakan visi masa depan Aceh dan masyarakat juga ingin memastikan semua calon legislatif harus bisa membaca al-Qur’an,” kata Basri kepada Waspada di Banda Aceh, Jumat (1/8).
Jika pasal itu dicabut, dia mensinyalir adanya indikasi Mendagri mencoba memberi perlakuan yang berbeda antara parlok dan parnas. Padahal, pasal itu jelas ingin menggambarkan di Aceh sudah tidak ada lagi perlakuan yang berbeda di masyarakat antara parlok dan parnas.
Sebagai contoh, Basri menyebutkan masa Pilkada lalu, semua calon kepala daerah dari parnas maupun jalur independen harus melakukan tes baca al-Qur’an. “Jadi, kenapa pada pemilu harus ditentang. Ini mengherankan,” ungkapnya.
Untuk itu, KAMMI NAD mendesak Gubernur dan DPR Aceh untuk mengadvokasi agar pasal itu tidak dicabut dan meyakinkan jangan sampai ada lagi pihak yang kontra dengan pasal tersebut.
Hal senada juga disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Partai Matahari Bangsa (PW-PMB) Aceh, Rahmadi M. Sani. Menurut dia, kebijakan itu menunjukkan sikap tidak konsisten pemerintah dalam upaya memberikan kewenangan khusus bagi Aceh, terutama pasca pemberlakuan dan penerapan Syariat Islam.
“Kami melihat, syarat mampu membaca al-Qur’an bagi caleg di Aceh sama sekali tidak bertentangan dengan UU Pemilu. Tapi, justru menambahkan apa yang tidak ada di dalam UU Pemilu,” ucapnya.
Terkait adanya anggapan akan adanya konflik jika syarat ini tetap diberlakukan, maka PMB berharap anggapan seperti itu dibuang jauh-jauh. “Kami mengajak semua parnas maupun parlok di Aceh agar mengambil sikap untuk tetap menerima syarat mampu membaca al-Qur’an tersebut,” tegas Rahmadi.(b05/b07)
Source : Harian Waspada