Jakarta, Kompas – Hasil hitung cepat Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta semestinya menjadi peringatan bagi partai politik besar. Mesin parpol yang dalam survei dinilai berelektabilitas relatif baik terbukti bukan jaminan untuk memenangkan calon dalam pemilihan umum.
Demikian dikatakan pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, dan pakar hukum tata negara Saldi Isra di Jakarta secara terpisah, Kamis (20/9).Mereka menanggapi hasil hitung cepat Pilkada DKI Jakarta yang menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama mengungguli pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
Joko Widodo-Basuki didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Sementara Fauzi-Nachrowi didukung parpol-parpol besar seperti Partai Demokrat dan Partai Golkar.
”Makna kemenangan sementara Jokowi-Ahok (Joko Widodo-Basuki) adalah mesin partai-partai besar tidak menjamin kemenangan calon pasangan,” kata Saldi Isra.
Secara substansial, kata Haryadi, pemilihan gubernur memang berbeda dengan pemilu legislatif. Namun, pemilihan gubernur DKI Jakarta merupakan ajang uji coba mesin partai.
”Parpol-parpol besar yang kerap dipersepsi baik harus berkaca sebab dinamika politik sangat cepat, massa mengambang banyak, dan pemilih mula pada 2014 diperkirakan 15-20 persen dari jumlah pemilih,” ujarnya.
Saldi mengatakan, parpol tidak menjamin kemenangan calon dalam pemilu karena parpol selama ini masih konservatif dalam menentukan calon pemimpin. Parpol lemah menawarkan pemimpin-pemimpin baru.
Menurut Saldi, kemenangan Jokowi-Ahok jelas lebih didasarkan kepada keyakinan masyarakat terhadap figur. ”Figur Jokowi-Ahok dinilai dapat memberi harapan dan masa depan yang lebih baik. Mereka harus membuktikan,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustofa pun mengakui, keunggulan Jokowi-Ahok mengonfirmasi untuk kesekian kalinya bahwa figur sangat penting dalam setiap pemilihan kepala daerah. Koalisi partai tidak efektif untuk mengalahkan popularitas calon. ”Figur tetap dominan, terutama figur yang dinilai sesuai dengan perasaan pemilih,” katanya.
Demokrasi rakyat
Sosiolog Thamrin Amal Tamagola mengatakan, kemenangan Jokowi-Ahok, meskipun masih sementara, menunjukkan nurani masyarakat ingin menerima keberagaman dan hidup dalam kebinekaan. Kecenderungan itu jadi tanda positif dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
”Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tidak mempan bagi masyarakat. Isu SARA hanya dimakan atau dikunyah oleh basis atau kelompok fanatik tertentu,” kata Thamrin.
Hal senada dikatakan Saldi. Kemenangan Jokowi-Ahok menunjukkan isu SARA tidak mempan. Akal sehat dan rasionalitas pemilih lebih menonjol. ”Ini positif untuk pertumbuhan demokrasi,” katanya.
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Syariefuddin Hasan, pun mengatakan, kemenangan Jokowi-Ahok merupakan cermin demokrasi rakyat yang sesungguhnya. ”Kami menghargai dan menghormati pilihan rakyat. Ini merupakan proses demokrasi yang makin baik di Indonesia,” kata Syarif.
Dari sisi parpol pendukung, keunggulan Jokowi-Ahok dalam hitungan cepat Pilkada DKI Jakarta, kata Saldi, menguntungkan PDI-P dan Gerindra. Kepercayaan diri semakin tinggi untuk melangkah ke Pemilu 2014 meski tetap harus hati-hati.
”Bagi PDI-P, hasil Pilkada DKI Jakarta ini sangat berarti. Ini menunjukkan kemenangan dari kerja keras yang disertai keyakinan ideologis dan prinsip kebangsaan, kerja mesin partai dan relawan, serta keinginan akan perubahan dan spirit kebersamaan yang teraktualisasi pada sosok Jokowi,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Harto Kristiyanto.
(ina/fer/ato/osa/why)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.