Home > Education > Political Marketing > Parpol Coba Membumikan Ideologi

Parpol Coba Membumikan Ideologi

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas cukup mengejutkan. Responden menilai, Partai Demokrat adalah yang paling konsisten mempertahankan ideologinya. Parpol yang baru dua kali ikut pemilu itu dalam jajak pendapat itu mengalahkan ”partai ideologis”, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Walau dari jajak pendapat itu tak diketahui alasan responden menyatakan penilaiannya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam sejumlah kesempatan mengakui, memang 10 tahun terakhir pragmatisme telah menghilangkan roh partainya, yaitu Pancasila 1 Juni 1945 hasil galian Soekarno, yang berwujud marhaenisme yang diidentifikasi sebagai pembelaan kepada wong cilik.

”Kita mengasumsikan ideologi sudah given (muncul dengan sendirinya) dan terwujud dalam Ibu Megawati. Itu menjadi lubang besar sekarang,” ujar Guru Kader PDI-P Budiman Sudjatmiko.

Dalam evaluasi internalnya, PDI-P menyadari, pragmatisme itu menurunkan suara PDI-P pada Pemilu 2009. Pada Pemilu 1999, PDI-P berada di urutan pertama dengan perolehan suara 33,7 persen. Pemilu 2004, dengan raihan suara 18,5 persen, PDI-P kalah dari Golkar (21,6 persen). Pada Pemilu 2009, perolehan suara PDI-P makin melorot ke urutan ketiga. PDI-P yang mendapat 14 persen kalah dari Partai Demokrat (20,4 persen) dan Golkar (14,5 persen).

Untuk itu, kata Budiman, menghadapi Pemilu 2014, partainya berkonsentrasi pada tiga program, yaitu kerja bersifat ideologis selain penggalangan dan pencitraan partai. ”Kerja ideologis artinya kita menempatkan kader di tengah komunitas wong cilik,” ujarnya.

Ini berbeda dengan Partai Demokrat yang sepertinya diuntungkan oleh popularitas Susilo Bambang Yudhoyono yang tinggi, terutama pada Pemilu 2009. Karena itu, responden lebih mudah memberikan penilaian yang lebih tinggi dari PDI-P dan PKS soal konsistensi mempertahankan ideologinya.

Partai Demokrat hanya merumuskan konsep ideologinya sebagai ”nasionalis religius”. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok, yang juga salah satu pendiri partai itu, menuturkan, konsep ideologi itu datang dari Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

”Asas kami sama dengan ideologi negara, yaitu Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Religius artinya kami ini menggunakan spirit keagamaan, tetapi bukan agamanya. Spirit itu diwujudkan dalam cerdas, santun, bersih, dan demokratis,” ujar Mubarok. Namun, ia mengakui, yang membuat partainya menang bukan ideologi, tetapi popularitas Yudhoyono yang tinggi.

Dari sembilan unsur pimpinan parpol yang diwawancarai Kompas, semuanya merumuskan ideologi yang diterapkan dalam platform, program, dan kebijakan parpol.

Sebaran ideologi itu terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu berideologi Pancasila dan Islam, dengan beberapa varian. Partai yang mengusung ideologi Pancasila, selain Partai Demokrat dan PDI-P, adalah Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Hanura. Partai yang jelas mencantumkan Islam sebagai ideologi adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan PKS. Partai Kebangkitan Bangsa mengidentifikasikan diri dengan ideologi Pancasila, dengan varian menerapkan paham ahlussunnah wal jamaah yang selama ini dianut Nahdlatul Ulama. Meski ditegaskan bukan partai berideologi Islam, PAN berasas pluralitas dengan memperjuangkan amar makruf nahi mungkar.

Di antara partai nasionalis, Partai Gerindra mungkin partai yang lebih jelas memosisikan diri sebagai pejuang ekonomi kerakyatan, terutama kesejahteraan petani, sebagai terjemahan dari ideologi Pancasila. Paling tidak, ini terlihat dalam kampanye-kampanyenya. ”Memang sampai sekarang kami baru sebatas mampu menggelar ’perang udara’, dengan memperkenalkan ideologi lewat iklan dan tayangan televisi. Strategi ’perang darat’ (implementasi di lapangan) kami lemah,” ujar Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi.

PKS adalah wakil partai berideologi Islam yang lebih jelas pembedanya. ”PKS adalah partai dakwah. Ideologi partai diwujudkan dalam bentuk desain besar, platform, dan rencana aksi yang menyeluruh di berbagai bidang kehidupan. Kami berdakwah di parlemen dan sektor publik,” kata Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta.

Terjemahan ideologi

Pertanyaannya memang, seperti dikemukakan Lili Romli, apakah ideologi itu dapat diterjemahkan dalam platform, yang selanjutnya dirumuskan dalam bentuk program? Ia melihat, dari sembilan partai yang ada di DPR, program dan kebijakannya terlihat sama saja.

Wakil Sekjen PPP Romahurmuziy mengakui, ideologi prinsip (principal ideology) partai seharusnya bisa diejawantahkan dalam ideologi kerja (working ideology). Namun, sampai kini, PPP tak berhasil mewujudkan. ”Tidak pernah partai di Indonesia pasca-Reformasi memiliki kekuasaan mutlak. Sulit untuk membayangkan ideologi kerja tadi bisa dilaksanakan,” katanya.

Kuskridho memberikan ilustrasi, pada Pemilu 1999, ada tiga isu penting yang muncul dalam kampanye, yaitu agama, otonomi daerah, dan ekonomi kerakyatan. Ketika PPP dan Partai Bulan Bintang kalah dalam perjuangan memasukkan Piagam Jakarta pada perubahan UUD UUD 1945 tahun 2002, isu agama menjadi tidak penting. Demikian pula saat isu otonomi daerah diselesaikan secara hukum dengan keluarnya perundang-undangan, isu itu tak muncul lagi. Isu ekonomi kerakyatan sempat menjadi isu hangat dalam Pemilu 2009 dan menjadi pembeda di antara PDI-P dan Partai Gerindra dengan Partai Demokrat.

Kuskridho mengamati, dari pemilu ke pemilu, perbedaan antarpartai itu semakin kabur. Partai cenderung melihat ideologi semakin tidak penting.

Padahal, ideologi ini menjadi penting karena menjadi ”identitas partai”. Ahli pemasaran politik dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Dr Firmanzah, merumuskan, ideologi adalah basis sistem nilai dan paham yang menjelaskan mengapa partai itu ada. Dari sisi masyarakat, kejelasan sistem nilai dan paham akan memudahkan mereka dalam mengidentifikasikan sekaligus membedakan suatu partai dengan partai lain. Dari sisi partai, hal ini juga memudahkan untuk positioning (pemosisian) dan mengemas bahasa komunikasi yang ingin disampaikan kepada target pemilih mereka (lihat Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, 2008).

Partai harus membumikan ideologinya berbentuk kebijakan bagi partai yang berkuasa atau alternatif kebijakan bagi partai di luar kekuasaan. Dengan begitu, tak muncul seperti ucapan spontan Aburizal dalam diskusi, sebetulnya ideologi Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PDI-P sama saja. Kalau sama, lalu untuk apa berpartai yang berbeda?(dwa/day/fer/nwo/nta/sie/ana/idr/why/ana/bur)

Source : Kompas.com, 29 Maret 2010

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik
Elemen Kejutan dari Pencalonan Anies
Pakar: Golkar Tengah Mainkan Strategi Marketing Politik

Leave a Reply