Jakarta, Kompas – Banyaknya partai politik yang tersandera kasus korupsi dianggap sebagai imbas dari praktik politik transaksional selama 13 tahun pascareformasi. Parpol tidak memiliki kemampuan menghidupi diri sendiri sehingga mengejar kekuasaan agar bisa menyedot uang negara.
”Ini (korupsi oleh partai politik) imbas dari pola relasi transaksional yang sudah menjadi karakter politik selama 13 tahun terakhir,” kata pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/5).
Pola relasi politik yang dibangun partai politik dengan konstituen kini memang lebih mengarah ke praktik politik uang. Selama ini, parpol tidak maksimal menjalankan fungsinya sebagai sarana pendidikan politik atau penampung aspirasi masyarakat. Masyarakat hanya didekati menjelang pemilu dan tidak jarang diberi materi sebagai kompensasi.
Sementara mayoritas parpol tidak memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai ongkos politik. Parpol tidak memiliki mekanisme pengumpulan sumber pendapatan, seperti iuran atau sumbangan dari anggota. Umumnya parpol masih tergan- tung donasi dari pihak luar.
Mahalnya ongkos politik membuat parpol berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan. ”Mereka mengejar kekuasaan agar bisa menyedot uang negara sebagai sumber dana parpol,” ujarnya. Negara masih menjadi sumber utama untuk permodalan biaya politik parpol.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lili Romli, mengatakan, kemandirian menjadi masalah utama bagi parpol di Indonesia. Menurut Lili, tak ada satu pun parpol mandiri, terutama dalam soal pembiayaan, sehingga akhirnya mereka ”memeras” kadernya untuk membiayai kegiatan politik.
Lili mengungkapkan, korupsi yang dilakukan politikus, terutama mereka yang duduk di DPR, jamak terjadi mengingat mereka juga dituntut agar mampu membiayai parpol yang telah menjadi kendaraan mereka meraih jabatan wakil rakyat. Menurut Lili, sebenarnya untuk bisa mandiri, parpol bisa saja diberi kemampuan untuk mendirikan badan usaha seperti di Malaysia.
”Daripada seperti sekarang ini, anggota parpol yang pengusaha seperti jadi sapi perahan. Lebih baik diformalkan saja, parpol bisa bikin badan usaha untuk membiayai kegiatan mereka, tetapi tentu dengan batasan yang harus bisa diawasi oleh penegak hukum,” kata Lili.
Kurangi wibawa
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, korupsi para politikus itu memperburuk citra parpol, juga mengurangi wibawa pemerintah dan kepercayaan masyarakat kepada demokrasi.
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Paramadina, Jakarta, Herdi Sahrasad, menilai politikus yang terlibat korupsi cenderung bekerja untuk melindungi diri dari jerat hukum. ”Orang ingin berkuasa bukan karena ingin melayani rakyat, tapi untuk mencari uang,” katanya.
Kondisi itu akan merusak sistem politik. Jika parpol sebagai hulu sistem politik itu kotor, maka produknya juga tidak akan bersih, seperti pejabat legislatif dan eksekutif, kebijakan, pengawasan, anggaran, dan undang-undang. Proses itu hanya mengantarkan pada demokrasi kriminal yang mengorbankan kepentingan rakyat. ”Parpol hanya berpikir jangka pendek dan sempit, misalnya menumpuk pundi-pundi demi pemenangan Pemilu 2014, sementara program-program untuk rakyat terlupakan,” katanya.
Dalam situasi seperti itu, fungsi ideal parpol akan kandas terpenuhi. Parpol sulit memperjuangkan aspirasi publik, membangun demokrasi, mengembangkan etika politik, atau membuat undang-undang yang memihak rakyat. Akibatnya, kepercayaan publik kepada parpol, demokrasi, dan politik kian menyusut.
Untuk mengantisipasi agar kondisi tak kian memburuk, Saldi Isra mengusulkan, parpol berusaha melawan korupsi secara sistematis. Caranya, aktivis muda parpol yang bersih harus membersihkan lembaganya dari unsur-unsur koruptif. Ini semacam gerakan perlawanan dari dalam.
Sistem keuangan parpol juga perlu ditata agar menjadi lebih transparan dan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Harus jelas dari mana, ke mana, dan bagaimana cara membelanjakan dana parpol. Dana tersebut pun diaudit berkala. ”Partai politik tak boleh menganggap dirinya institusi privat. Karena itu, keuangan partai harus diaudit. Kalau itu dilakukan, akan ada upaya perbaikan,” kata Saldi.
Transparansi dan audit dana parpol itu menjadi kunci utama untuk mencegah politik uang di parpol. Jika itu tak dilaksanakan, setiap partai akan saling melindungi dan mengunci. Politik akan terus terjebak dalam lingkaran setan korupsi. ”Kalau gagal memperbaiki partai, proses yang koruptif dalam partai akan menghasilkan pemimpin yang koruptif juga,” katanya.
Pangkas biaya politik
Untuk memutus lingkaran setan praktik korup politikus, parpol seharusnya bisa memangkas biaya politik dalam setiap kegiatan politik yang melibatkan mereka, seperti pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilihan kepala daerah. Selama ini, praktik politik uang dituding menjadi penyebab maraknya politikus korup sehingga tak bisa menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi malah sibuk melindungi citranya yang kotor akibat korupsi.
Parpol melalui kadernya di DPR selaku pembuat undang-undang seharusnya mampu membuat legislasi yang bisa memangkas biaya politik. Menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, pemangkasan biaya politik dalam kegiatan politik seperti pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilihan kepala daerah sebenarnya bisa mudah dilakukan.
”Berikan kewenangan kepada penyelenggara pemilu (KPU) untuk melaksanakan setiap detail dan proses kampanye sehingga tidak ada kampanye yang harus potong sapi atau kerbau. Kalau semua disiapkan oleh penyelenggara pemilu, tak perlu ada kampanye hura-hura yang mengundang artis,” katanya.
Dikatakan Sebastian, semua parpol bukan milik publik, tetapi segelintir elite yang bisa mengontrolnya melalui kekuasaan modal. Akibatnya, parpol sulit mandiri. Model konsentrasi kekuasaan parpol di tengah pemilik modal, ujar pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, membuat demokrasi di tubuh parpol tak berjalan. (NTA/IAM/BIL)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.