Jika kita ingin menilai apakah partai politik itu sebenar-benarnya partai, lihatlah saat partai itu sedang menghadapi krisis internal.
Jangan melihat saat pembentukan partai karena nuansa kebersamaan pasti masih kental terutama dari pernyataan-pernyataan para pendiri partai itu. Jangan mengamati saat partai berkongres atau bermuktamar karena nuansa kompetisi dan kebersamaan pasti juga menonjol. Jangan pula saat partai atau gabungan partai sedang mengusung calon presiden/wakil presiden karena yang akan tertangkap adalah gegap gempita para ”fans club” saat itu.
Penilaian terbaik adalah saat ada krisis internal karena di situlah diuji apakah partai benar-benar solid, rapuh, atau bisa mengambil keputusan yang sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (AD/ART).
Gonjang-ganjing politik di Partai Demokrat (PD)—akibat tuduhan korupsi pada Bendahara Umum PD Muhammad Nazaruddin—menggambarkan betapa rapuhnya partai ini. Keputusan Dewan Kehormatan PD memberhentikan Muhammad Nazaruddin sebagai Bendahara Umum diumumkan langsung oleh Sekretaris Dewan Kehormatan PD Amir Syamsuddin tanpa melalui rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat dan rapat Pengurus Harian PD. Tidaklah mengherankan jika Nazaruddin merasa diperlakukan semena-mena.
Laporan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara lisan pada November 2010 mengenai pemberian ”uang persahabatan” dari Nazaruddin kepada Sekjen MK Janedjri M Gaffar sebesar 120.000 dollar Singapura pada September 2010 juga tidak cepat ditindaklanjuti SBY sebagai Ketua Dewan Pembina PD. Baru pada 20 Mei 2011 ada tindakan ketika isu suap di Kemenpora semakin merebak.
Dengan kata lain, SBY tidak melakukan pembinaan internal kepada Nazaruddin dan memilih meletakkan kasus ”di bawah karpet” sampai ada isu lain menerpa.
Kerapuhan tubuh PD juga tampak dari bagaimana kader-kader PD memberikan pernyataan yang saling menegasikan ihwal kasus Nazaruddin. Kita melihat ada orang- orang PD yang membela Nazaruddin, ada pula yang menginginkan Nazaruddin mendapat hukuman.
Silang pendapat antara Kastorius Sinaga dan Ruhut Sitompul adalah contoh centang perenangnya partai ini. Pernyataan Angelina Sondakh yang merasa dikhianati teman-temannya di PD soal kasus korupsi di Kemenpora juga merupakan fakta ketidakberesan internal partai ini. Ini masih ditambah serangan balik Nazaruddin terhadap para petinggi PD.
Penanganan buruk
Drama politik ini menunjukkan betapa PD belum menjadi sebenar-benarnya partai kalau belum mau disebut partai acakadut! Meski mekanisme penanganan kasus dugaan korupsi ini telah ditempuh Dewan Kehormatan PD, proses sebelum dan pasca-pengumuman keputusan partai tidak mulus karena Nazaruddin tidak terima dan malah menyerang balik.
Terlepas dari pernyataan para kader bahwa PD tetap solid, silang pendapat antarkader menunjukkan mekanisme konflik dalam PD tidak berjalan. PD perlu belajar dari beberapa partai politik seperti Partai Golkar, PDI-P, PPP, PAN, PKS, atau PBR dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang menerpa kader-kadernya. Segalanya berlangsung tenang tanpa menimbulkan gejolak internal karena mekanismenya sesuai AD/ART partai dan Pasal 213 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Hak untuk berpendapat memang tidak haram. Namun, bila tiap pihak dengan kepentingan masing-masing bertikai lewat media massa, maka semua justru meluluhlantakkan PD sendiri. Para kader PD tidak bisa menyalahkan media massa seolah-olah mereka yang memperkeruh suasana internal PD karena sumber beritanya adalah para kader PD sendiri.
Para kader PD juga tidak bisa menepuk dada bahwa PD adalah partai yang demokratis dan membiarkan proses hukum berjalan adil karena internal PD karut-marut.
Imbas kompetisi lama?
Konflik internal PD saat ini bisa jadi adalah imbas dari kompetisi saat pemilihan Ketua Umum PD lalu yang tampak jelas bahwa baik Dewan Pembina maupun Ketua Umum PD tidak memiliki wibawa politik untuk menenangkan anggotanya. Kader-kader PD seperti tidak punya arahan dalam menyikapi kasus dugaan korupsi ini dan malah bersilang pendapat di media massa seperti tidak memiliki kedewasaan dan wawasan politik.
Ketua DPR dari Partai Demokrat Marzuki Alie yang mencemooh korban tsunami di Kepulauan Mentawai dengan kalimat, ”Jika tidak ingin terempas ombak, janganlah berumah di tepi pantai,” adalah cermin para kader PD sebagai ”Menepuk air didulang, tepercik muka sendiri!”
Kita jadi ingin tahu, apakah terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum PD masih belum bisa diterima dengan lapang dada oleh Ketua Dewan Pembina PD atau dua kelompok lain yang berkompetisi.
Anas memang kader baru di PD, seperti halnya Nazaruddin. Anas adalah mantan Ketua Umum HMI yang tentu memiliki kedekatan dengan mantan ketua umum atau aktivis Kesatuan Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) seperti Akbar Tanjung, Fuad Bawazir, Jusuf Kalla, atau bahkan Aburizal Bakrie.
Kita tahu KAHMI amat kuat dan alumni HMI ada di mana-mana (omnipresent). Mungkin ini yang menyebabkan masih adanya gesekan politik antara Anas dan kader-kader muda PD lain yang sudah lebih awal berkiprah di PD atau bahkan dengan Ketua Dewan Kehormatan PD sendiri. Pekerjaan rumah para kader PD memang berat: membangun PD menjadi sebenar-benarnya partai dan bukan sekadar ”fans club”-nya SBY!
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs-LIPI
Source : Kompas.com