Pandangan dan harapan masyarakat terhadap masa depan partai politik di Indonesia sedang berada di titik jenuh. Di satu sisi, partai-partai lama dipandang tidak lagi mampu menjadi wadah perjuangan politik masyarakat. Di sisi lain, kehadiran partai politik baru juga tidak menumbuhkan optimisme publik.
Untuk kesekian kalinya, ketidakpuasan publik terhadap kinerja parpol tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Kini, tingkat ketidakpuasan publik terhadap parpol tercatat paling tinggi jika dibandingkan dengan hasil jajak pendapat sebelumnya. Sebanyak 88,9 persen responden menyatakan tidak puas terhadap kinerja partai dalam menjalankan tugas dan fungsinya, lebih tinggi dari Januari lalu sebanyak 75,3 persen dan Desember 2009 yang berada di kisaran 77,1 persen.
Merosotnya citra parpol di mata publik tak lepas dari absennya parpol dalam menjalankan beragam fungsinya. Parpol dinilai hanya terjebak dalam dinamika politik kekuasaan pribadi atau kelompok semata. Sejumlah agenda yang semestinya dilakukan partai sebagai sebuah institusi demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebut saja kinerja parpol dalam perekrutan, sosialisasi, agregasi, sampai pada pendidikan politik dinilai tidak berjalan optimal.
Pengaruh liberalisasi politik tampaknya telah menjebak parpol memainkan peran electoral (dalam pemilihan) an sich, sedangkan kerja-kerja politik lainnya kurang digarap serius. Partai electoral hanya menekankan pada bagaimana parpol meraih dukungan optimal di pemilu. Jebakan itu membuat partai lebih pragmatis dan melupakan identitas ideologisnya.
Pengamat politik Ari Dwipayana menyebut, corak parpol elektoralis tidak lagi memikirkan pengorganisasian gerakan sistematis di masyarakat untuk mendorong perubahan tertentu, seperti pada parpol era 1950-an, tetapi hanya memikirkan cara memenangi pemilu (Kompas, 25/10).
Tentu jauh sekali jika kita membandingkan kondisi parpol saat ini dengan partai di era 1950-an. Pergulatan politik parpol di era Orde Lama lebih tampak menonjol dalam soal pertarungan ideologis dibandingkan dengan pertarungan politik pragmatis yang kerap dipertontonkan elite parpol saat ini.
Gejala korup
Pragmatisme politiklah yang menguat dalam ingatan publik terhadap sosok parpol saat ini. Lebih dari 75 persen responden menilai parpol tidak berperan dalam menciptakan pemerintahan yang bersih, memperbaiki perekonomian rakyat, dan memberantas korupsi. Sebaliknya, gejala politikus korup justru banyak menghiasi ruang publik yang kian hari membuat wajah parpol semakin lusuh.
Praktik korupsi yang dimainkan sejumlah elite semakin menguatkan sinyalemen pragmatisme politik. Kasus seperti suap proyek wisma atlet SEA Games yang diduga melibatkan Kementerian Pemuda dan Olahraga, suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan dugaan praktik mafia anggaran di Badan Anggaran DPR, menambah daftar panjang praktik korupsi oleh elite politik.
Ilmuwan politik Richard S Katz dan Peter Mair (1995) menyebut gejala itu sebagai politik kartel atau rente, yaitu partai dan para politikusnya menjadi agen dari negara yang kemudian menggunakan sumber-sumber daya negara untuk kepentingan dan eksistensi partainya.
Tidak heran jika kemudian 33,1 persen responden menilai tidak ada lagi parpol yang serius memperjuangkan kepentingan rakyat. Mayoritas responden (89,9 persen) menyebut elite politik lebih menyuarakan kepentingan parpol dan diri sendiri. Rendahnya antusiasme anggota DPR dalam menghadiri rapat paripurna bisa menjadi bukti.
Parpol baru
Pesimisme publik terhadap parpol yang ada saat ini tidak kemudian menjadikan parpol baru mendapat tempat. Parpol baru dinilai tak jauh berbeda dengan parpol yang sudah ada. Sebanyak 52,8 persen responden menyatakan tidak berminat memilih parpol baru. Meskipun demikian, 46,4 persen responden berharap parpol baru dapat menyajikan sosok parpol yang modern dan bersih.
Pertumbuhan parpol baru menjelang Pemilu 2014 ini paling rendah ketimbang tiga pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 1999 tercatat 45 parpol baru peserta pemilu, pada Pemilu 2004 ada 18 parpol baru, pada Pemilu 2009 ada 20 parpol nasional dan 6 parpol lokal Aceh. Tahun ini, dari 14 parpol baru yang mengajukan diri sebagai badan hukum, hanya Partai Nasdem yang lolos. Tiga parpol diberi kesempatan melengkapi berkas.
Di mata publik, yang lebih penting adalah bagaimana peran parpol itu efektif menumbuhkan demokrasi berkualitas. Parpol harus dibangun sebagai institusi modern, mandiri, dan transparan. Perbaikan sistem organisasi parpol disebut sebagian besar responden (66,6 persen) sebagai langkah utama penguatan institusi parpol. (Litbang Kompas)
Source : Kompas.com