Jakarta, Kompas – Kondisi partai politik saat ini kian mengkhawatirkan karena terasuki virus korupsi, terikat kepentingan kelompok, dan mengabaikan aspirasi rakyat. Karena itu, partai politik perlu dibenahi dengan memperbaiki sistem politik, lembaga kepartaian, dan menutup celah korupsi.
Demikian disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bachtiar Effendy dan pengamat sosial dari Bandung, Idi Subandy Ibrahim, secara terpisah, Selasa (21/6). Bagi keduanya, perjalanan politik di Indonesia kian dikendalikan partai politik. Masalahnya, elite partai tersedot dalam politik transaksi dan pragmatisme.
Menurut Bachtiar Effendy, merebaknya praktik korupsi di lingkungan partai didorong proses politik berbiaya tinggi. Kemenangan politisi dalam pemilu banyak dipengaruhi politik uang. Ketika terpilih sebagai pejabat di eksekutif atau legislatif, politikus itu terdesak untuk mengembalikan biaya politik.
”Jabatan publik juga tidak dilihat sebagi panggilan, tetapi sebagai pekerjaan, mata pencaharian, atau komoditas. Segala sesuatu diukur dengan uang,” kata Bachtiar. Hal ini salah satu problem serius. Kalau tidak dihentikan, kondisinya bisa kian memburuk. Apalagi, penegakan hukum sulit berjalan karena hampir semua elite politik tersandera kasus korupsi. Saat ini kita seperti kembali pada praktik-praktik politik Orde Baru yang hanya menguntungkan elite politik.
Bachtiar mengusulkan, sistem kepartaian ditata ulang dengan menyederhanakan jumlah partai politik. Biaya pemilu dibuat lebih murah dan celah permainan politik uang mesti ditutup. Pemilu bisa menggunakan sistem distrik, di mana satu kursi sebagai perwakilan dari satu kabupaten atau kota diperebutkan semua kontestan pemilu.
”Dengan begitu, anggota legislatif betul-betul menjadi senator yang menyuarakan kepentingan rakyat,” katanya.
Idi Subandy Ibrahim menilai, partai politik punya posisi strategis. Mereka memasok calon wakil rakyat, mencalonkan presiden, mengisi jabatan di kementerian, dan menjalankan proses politik yang menentukan nasib bangsa. Namun, partai politik sekarang justru bermasalah.
”Kekuatan lama yang antidemokrasi masih bercokol, baik berupa orang maupun cara berpikirnya. Sementara itu, orang-orang yang baru datang juga terserap dalam semangat pragmatisme, membangun dinasti keluarga, dan mengalami pembusukan,” kata Idi.
Idi mengusulkan, dibuat aturan agar partai lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Partai harus melakukan demokratisasi internal serta merekrut kepengurusan partai berdasarkan kemampuan dan kualitas, bukan berdasarkan ikatan primordial dan keluarga. Partai juga dituntut lebih transparan dalam mengelola keuangannya.
”Masyarakat juga didorong untuk lebih cerdas dalam memilih partai dan para wakilnya di pemerintahan. Masyarakat yang cerdas pasti akan menghasilkan wakil yang cerdas,” katanya.
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.