Home > News > Opinion > Pemilu Dalam Islam

ISLAM dengan totalitas ajarannya, mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Tidak hanya sebatas mengatur ‘ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (mu’amalah), termasuk pengaturan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Tujuannya mewujudkan kemaslahatan umat, tegaknya nilai-nilai keadilan di bumi. Jika nilai-nilai kemaslahatan dan keadilan itu diabaikan, maka sungguh akan terjadi berbagai bentuk diskriminasi, penindasan dan kezaliman.

Islam mengatur dan menetapkan bahwa harus ada pemimpin yang akan menyelenggarakan dan mengawasi jalannya pemerintahan negara. Harus ada lembaga yang membuat peraturan, juga harus ada lembaga yang secara khusus menegakkan supremasi hukum. Ketiga otoritas itu–dalam teori kenegaraan modern disebut saparation of power, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Begitu pun pentingnya satu pemerintahan (negara) dalam mengatur dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya, tetapi Islam tidak pernah memberikan suatu model atau bentuk dari suatu negara tersebut. Maka munculnya perbedaan di kalangan para ahli hukum dan pakar politik, adalah sesuatu yang wajar.

Alquran maupun Sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam, nampaknya tidak memberi petunjuk yang tegas tentang hal itu.

Alquran hanya memberikan beberapa landasan yang prinsipil. Misal, ada “Asas musyawarah” dalam hubungan dengan pemilihan pemimpin, menuntut pertanggungjawaban dan pemberhentiannya. “Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menajkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”(Q, al-Syu’ara: 38).

Atas dasar itu mengharuskan setiap pemimpin (penguasa), yang mendapat kepercayaan dari rakyat, untuk menggunakan asas musyawarah dalam setiap tugasnya dan pengambilan keputusan berhubungan dengan kepentingan rakyat. Kewajiban pemerintah untuk selalu memperhatikan kemaslahatan ini berkaitan erat dengan ajaran Islam tentang hubungan pemerintah dan rakyatnya. Imam al-Syafi’i mengatakan, bahwa kedudukan pemerintah dengan rakyatnya adalah seperti kedudukan wali dalam hubungan dengan anak yatim.

Pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung di negara kita ini setiap lima tahun sekali nampaknya mendapat legalitas dari ajaran Islam dan merupakan sebuah prosesi yang harus dilaksanakan untuk memilih para pemimpin baik sebagai wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif atau disebut ahl al-halli wa al- ‘aqdi, maupun kepala negara -presiden dan wakilnya -atau disebut dengan khalifah. Untuk itu setiap warga negara wajib menggunakan hak pilihnya, dan khusus bagi umat Islam wajib memilih orang-orang Islam yang terbaik, sesuai pilihan hati nuraninya masing-masing, tanpa adanya pengaruh, intimidasi.

Memilih dan mengangkat pemimpin adalah wajib. Tujuannya agar masyarakat menjadi mudah berurusan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul di kalangan mereka. Jangankan dalam satu komunitas besar, katakanlah sebuah negara, dalam sebuah safar(bepergian) saja, Rasulullah Saw, memberi petunjuk agar salah seorang di antara mereka diangkat seorang pemimpin, sekalipun hanya tiga orang.

Secara umum proses pemilihan clan pengangkatan pemimpin/kepala negara ada dua cara. Kedua cara ini sudah pemah dilakukan pada masa khulafaurrasyidin:

Pertama, dengan penunjukan dari khalifah sebelumnya.. Namun demikian sebagian berpendapat bahwa cara seperti ini lebih banyak unsur subyektifitasnya. Untuk menolak anggapan tersebut, maka kepada setiap calon diberikan persyaratan yang ketat meliputi syarat” adil”, “wara’ “, clan “taqiy”. Bahkan al-Mawardi menegaskan setiap pejabat yang akan diberi kepercayaan amanah, barns selalu clan mampu berkata ‘Jujur”, sifat dipercaya”, mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak baik”, tidak serakah”, jauh dari keraguan”. Bila pada diri seseorang ada syarat-syarat tersebut, berarti ia mempunyai keadilan clan kesaksiannya dapat diterima serta dapat dipilih menjadi pejabat negara(Lihat al-Mawardi:ttl65, dalam al-Ahkam al-Sultaniyah). Tetapi bila tidak demikian halnya, maka dia tidak patut menerima jabatan clan tidak pula dapat diterima kesaksiannya. Cara pertama ini seperti pemah dilakukan oleh Abubakar ash-Shiddiq saat menunjuk Umar sebagai pengganti beliau clan semua sahabat rela dengan keputusan yang diambil. Karena keputusan tersebut semata-mata mencari keridhaan Allah, bukan mencari pujian murahan dari manusia.

Kedua, dengan pemilihan. Cara ini dilakukan oleh sebuah tim yang berkompoten dengan syarat-syarat tertentu untuk menunjuk atau memilih, siapa yang layak untuk menjadi pemimpin. Seperti yang terjadi atas diri Abubakar ash-Shiddiq, yang dipilih oleh sebuah tim yang terdiri dari lima orang sahabat, yaitu Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn Jarrah, Usaid ibn Khudair, Bisy ibn Sa’ad daD Salim Maula bin Khuzaifah.

Dalam sistem pemilihan, sudah pasti melibatkan dua pihak yaitu pemilih daD yang dipilih.Siapapun yang terpilih harus diterima oleh kedua belah pihak, yang oleh John Lock disebut dengan kontrak sosial. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kontrak harus melibatkan kedua belah pihak yaitu rakyat di satu pihak dan penguasa dipihak lain. Jadi konsekuensi dari kepala negara atau pejabat lainnya yang terpilih dia harus menerima jabatan itu, dan seluruh rakyat harus menyatakan bai’atnya. Dengan demikian secara langsung pula mempunyai hak daD kewajiban. Salah satu di antara kewajiban kepala negara adalah melindungi rakyat dan mengatur negara atas nama rakyat daD sewaktu- waktu tidak menutup kemungkinan amanah rakyat / jabatan tersebut dapat ditarik kembali darinya baik karena masa jabatan berakhir atau karena sebab-sebab lain yang dibenarkan syar’i.

Para ahli fiqih menyebutkan beberapa sifat umum bagi ahl al-halli wa al-aqdi (wakil-wakil rakyat) yang dipilih, minimal harus acta pacta dirinya tiga sifat :

(l).mereka harus adil, artinya harus mempunyai integritas akhlaq dan moral yang baik, di samping disiplin terhadap agamanya. Jadi bukan seorang ahli maksiat daD zalim, (2) mereka dituntut mempunyai ilmu dan pengetahuan yang cukup terhadap calon pemimpin negara/ pejabat lainnya yang dipilih sehingga nantinya mampu mempertanggung jawabkan tidak hanya terhadap diri, masyarakat, negara, bahkan yang sangat penting kepada Allah Swt. (3) mempunyai wawasan yang luas mengenai kualifikasi pemimpin yang dipilih, artinya hams mengutamakan sosok dan kualitas pemimpin dan sesuai dengan kondisi pacta masanya.

Hal tersebut mempakan cara-cara untuk menghormati aspirasi rakyat dan kedaulatannya, yaitu memilih wakil-wakilnya sesuai dengan harapan dan keinginan mereka tanpa acta intimidasi dan penekanan dari pihak manapun juga.

Pemberhentiannya Seperti dijelaskan terdahulu bahwa al-Mawardi berkesimpulan bahwa kekuasaan kepala negara adalah ditangan rakyat. Melalui teori kontrak sosialnya, rakyat dan negara mempunyai hak dan kewajiban, namun dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan kekuasaan kepala negara dapat ditarik kembali apabila rakyat menghendakinya.

Dalam pemberhentian kepala negara al-Mawardi mengatakan bahwa apabila kepala negara dalam menjalankan mandatnya temyata telah menyimpang dari nilai-nilai akhlaq dan syari’at maka rakyat berhak menyatakan “mosi tidak percaya”. Di samping alasan lain karena cacat pisik dan mental. Karena itu dalam sistem pemberhentian maka pecan ahl al-halli wa al aqdi sangat menentukan.

Demikian beberapa pokok pikiran, semoga acta manfaatnya dan mari kita sukseskan pemilu damai, baik dalam rangka memilih anggota legislatif maupun memilih kepala negara nantinya. Amin Ya RabbalAlamin.
Oleh H.Abd.Gani Isa
* Penulis adalah Dosen pada Fak.Syariah lAIN Ar-Raniry

Source : Serambi Online, 27 Maret 2009

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
SBY dan Anomali Presidensial
Musim ‘Kawin’ Politik
Politik Kaum di Aceh

Leave a Reply