Home > News > Opinion > Pemimpin Pilihan Iklan

Menjelang Pemilu 2009, frekuensi iklan politik melonjak. Iklan-iklan itu tidak hanya memperkenalkan partai-partai politik, tetapi juga sosok-sosok individu politik.

Tidak ada salahnya kandidat politik memasang iklan. Tujuannya agar publik mengenal dan populer. Derajat popularitas seseorang ditentukan dengan jawaban ”ya saya tahu” saat ada pertanyaan dari lembaga survei. Namun, popularitas tidak sama dengan elektabilitas. Jadi, memasang iklan saja belum cukup. Inilah tinjauan dari sisi lembaga atau sosok individu.

Perlu legitimasi

Bagaimana dari sisi publik? Respons beragam. Di tengah situasi ekonomi yang belum membaik, publik bertanya berapa besar dan dari mana biaya iklannya. Pertanyaan itu yang sering muncul pertama kali, bukan substansi atau materi iklan.

Demokrasi langsung memang mahal. Namun, biasanya psikologi publik amat dipengaruhi kondisi sosio-ekonominya. Sayang, jika uang dihambur-hamburkan untuk ongkos politik.

Publik seolah dalam lautan janji saat menatap iklan-iklan politik. Janji-janji itu kerap amat hiperbolik, kurang realistis. Kalau bukan janji, pengiklan politik memosisikan diri sebagai ”dewa penyelamat”, mesias, yang bisa mengatasi semua persoalan. Karena itu, mereka memerlukan dukungan dan legitimasi.

Partai dan sosok individu dalam politik perlu pencitraan. Karena itu, mereka sibuk ”berdandan” agar publik terpikat. Dalam ilmu komunikasi politik modern, penggunaan iklan hanya sebagian dari teknik komunikasi yang komprehensif. Dari sisi publik yang ”sadar”, iklan politik sebenarnya sekadar ”artifisial” atau permukaan. Ibaratnya, iklan baru sebatas label alias pengenalan merek. Karena ”artifisial”, maka yang ditawarkan belum tentu otentik. Iklan belum tentu menghasilkan pemimpin sejati.

Kepemimpinan otentik

Jika pemasang iklan dikatakan bukan calon pemimpin otentik, tidak 100 persen benar. Otentik atau tidak otentik pemimpin tidak terkait apakah ia memasang iklan atau tidak. Iklan hanya cara, sedangkan otentisitas kepemimpinan adalah proses. Pemimpin yang otentik terlihat dari proses panjang (track record) yang dialami sang calon. Publik yang ”sadar” akan melihat pemimpin otentik secara keseluruhan, menghitung plus-minusnya.

Menurut pakar manajemen Donald H McGannon, leadership is action, not position. Pemimpin yang tidak bisa berbuat dan hanya mengandalkan ”posisi”-nya sebagai—misalnya—ketua partai, ekonom- sukses, ilmuwan berpengaruh, atau elite aktivis yang banyak akses tak bisa diharapkan. Kepada mereka perlu ditanyakan, pernah berbuat apa dan bisa melakukan apa? Pengalaman dan prestasi kerja sebelumnya amat penting diketahui, baik pemimpin tua maupun muda.

Secara ekstrem, pemimpin otentik tidak dibuat-buat. Ia mampu merespons banyak masalah secara tepat melalui aneka improvisasi yang indah dan jitu. Para pelawak yang lebih mengandalkan improvisasi mungkin lebih otentik dibandingkan yang mengandalkan teks. Kualitas kelucuan pelawak ditentukan oleh kepandaian improvisasi yang cerdas ketimbang pembaca dan penghafal teks.

Dengan demikian, kepemimpinan otentik bersifat komprehensif dan holistik. Pemimpin otentik adalah manusia pembelajar. Publik tidak boleh terjebak pada ”gincu” iklan-iklan politik, tetapi mau bersusah menyelami apa dan siapa yang diiklankan itu, berikut ”kegunaannya”.

Level-level publik

Masalahnya, kita lemah dalam menimbang dan memilih pemimpin yang otentik. Namun, mereka tak dapat disalahkan saat pilihannya terbatas. Ada yang terpaksa memilih pemimpin yang dianggap ”paling baik di antara yang baik” atau ”yang dianggap baik, di antara yang tidak baik”. Namun, pemimpin yang ”baik” belum tentu otentik. Katakan, mereka yang mampu memilih pemimpin sejati adalah kualifikasi publik level satu.

Level kedua, diisi publik primordial, kerap mengabaikan otentisitas. Kualifikasi kepemimpinan yang panjang dan kompleks dilewatkan begitu saja. Primordialitas ini kerap amat fatal, mengerucut pada pola ”pejah-gesang”. Level ketiga, diisi publik yang suka kemasan-artifisial ketimbang isi-substansi. Di sinilah partai dan sosok individu politik berpeluang meraup pendukung.

Level keempat, diisi publik yang tak berdaya dan terjebak pola masokis. Sebenarnya, publik jenis ini cukup kritis, mampu mengeluh atas keadaan dan kepemimpinan, tetapi tidak sanggup untuk tidak memilih selain partai atau sosok yang pernah ”menyakitinya” itu.

Level kelima, publik yang apatis, yang sudah tidak percaya lagi pada institusi atau sosok politik siapa pun dapat memperbaiki keadaan. Mereka tidak sekadar golput (non-votters) teknis.

Idealnya, pendidikan politik terus dilancarkan agar publik juga berkualitas dalam iklim politik demokrasi langsung. Media massa juga bertanggung jawab dan berperan dalam proses pendidikan publik. Iklan-iklan politik boleh ditayangkan, tetapi ulasan media harus mencerdaskan. Pemasang iklan harus memenuhi kaidah etika politik agar semarak tetapi etis.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Source : kompas.com

You may also like
Dicatut FUI dalam Iklan Dukung JK-Wiranto, PKS Protes & Minta Ralat
Wuih… Nilai Iklan Kampanye Pilpres Rp 3 Triliun
Kubu SBY: Iklan Pilpres Prabowo Menyesatkan
Nihil Artis, Iklan Pilpres Dibintangi Anggota KPU

Leave a Reply