BANDA ACEH – Polemik tentang mekanisme penetapan calon legislatif (caleg) terpilih ––apakah berdasarkan nomor urut atau suara terbanyak–– masih hangat dibicarakan di lingkungan partai politik peserta Pemilu 2009 di Aceh. Bahkan hingga menjelang penutupan pendaftaran caleg tadi malam, isu itu masih mengemuka. Namun, KIP Aceh sudah punya jawabannya.
Dalam kenyataannya, ada sebagian partai, seperti Golkar dan PAN, yang terang-terangan akan memberlakukan sistem penetapan caleg terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak yang diperoleh sang caleg. Tapi, sebagian partai lainnya mengaku tetap menggunakan sistem nomor urut. Caleg nomor urut satu dan di bawahnyalah yang mendapat prioritas untuk ditetapkan sebagai anggota legislatif terpilih.
Menanggapi hal itu, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menegaskan tetap menghormati manakala ada keputusan partai politik yang akan menentukan caleg terpilih dalam pemilu berdasarkan suara terbanyak.
“Namun, secara aturan dan sesuai ketentuan, kita tetap merujuk dan berpegangan pada UU Nomor 10 Tahun 2008 bahwa penentuan caleg terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut,” kata Ketua Pokja Pencalonan KIP Aceh, Yarwin Adi Dharma SPt, kepada wartawan, Selasa (19/8) sore.
Dia menyebutkan, keputusan KIP tersebut mengacu pada Pasal 214 ayat 1 huruf e UU Nomor 10/2008 yang berbunyi, “Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP), maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.”
Menurut Yarwin, berdasarkan aturan tersebut, maka pihaknya hanya akan mengakomodasi caleg terpilih jika sesuai dengan nomor urut, seperti yang diatur pada Pasal 214 UU Nomor 10 tentang Pemilu. Jadi, bukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. Sedangkan apabila ada caleg yang mendapat 30 persen suara dari BPP, maka secara otomatis caleg bersangkutan yang terpilih, tanpa harus melihat nomor urutnya.
Kata Yarwin, penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut dilakukan apabila tidak ada caleg yang mendapat 30 persen suara dari BPP, sehingga caleg terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut terkecil.
Beri apresiasi
Mantan anggota KIP Aceh Singkil itu menyebutkan, keputusan penentuan caleg berdasarkan suara terbanyak merupakan keputusan internal partai dan tidak ada kaitannya dengan sistem penetapan caleg terpilih yang diatur dalam UU Nomor 10/2008 yang berdasarkan nomor urut.
Tapi, meski demikian, KIP tetap memberi apresiasi tinggi apabila ada parpol yang menerapkan sistem penentuan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Akan tetapi, kata Yarwin, apabila sistem itu diterapkan, maka ada beberapa konsekuensi yang harus diikuti oleh partai bersangkutan untuk bisa menetapkan seorang caleg yang terpilih dalam pemilu.
Antara lain, partai harus meminta caleg yang berada di nomor urut kecil untuk bersedia mundur.
“Kalau ini diterapkan, maka caleg yang menempati nomor urut kecil harus mengundurkan diri agar calon terpilih dengan suara terbanyak bisa ditetapkan sebagai calon terpilih,” timpalnya.
Menurut Yarwin, terkait persoalan ini, KIP tidak mempunyai kewenangan lebih jauh, karena hal itu merupakan bagian dari kebijakan ataupun konsensus internal partai. Namun, yang menjadi penegasan KIP adalah komitmen pengunduran diri caleg di nomor urut kecil tersebut harus dinyatakan oleh partai atas kesadaran caleg yang bersangkutan dan adanya persetujuan dari pimpinan parpol.
“Surat pengunduran diri itu dibuat setelah ada caleg yang terpilih,” jelasnya.
Yarwin menambahkan, sebagai konsekuensi lain, calon legislatif yang menyatakan mengundurkan diri secara otomatis tidak dapat lagi menjadi anggota pengganti antarwaktu (PAW) bila sewaktu-waktu dibutuhkan.
“Kalau mereka sudah mengundurkan diri, maka mereka tidak dianggap lagi sebagai caleg dalam daerah pemilihan tersebut,” tukasnya.
Jadi, sebagai solusinya, kata Yarwin, calon anggota PAW akan diambil dari anggota legislatif yang zona pemilihannya berdekatan dengan daerah pemilihan anggota legislatif yang akan digantikan.
Tetap ikut UU
Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Rakyat Aceh (PRA), Rahmat Djailani, mengatakan pihaknya tetap mengikuti Undang-Undang Nomor 10/2008.
“Kami tetap merujuk pada undang-undang. Kalau perolehan suara seorang caleg tidak mencapai 30 persen, berarti penetapannya sebagai anggota legislatif terpilih didasarkan pada nomor urut,” katanya. (sar)
Source : Serambi Indonesia