Jakarta, Kompas – Penundaan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, seperti diusulkan Partai Aceh, tak menjamin kondisi Aceh akan lebih aman. Penundaan itu akan memberikan rasa tak adil dan reaksi balik dari 115 pasang calon kepala daerah, yang kini resmi terdaftar, dan pendukungnya.
”Pasangan calon kepala daerah tak akan diam saja kalau pemilu kepala daerah (pilkada) ditunda. Mereka sudah menghabiskan dana besar untuk mengikuti pilkada, apalagi sempat ditunda akibat putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di Banda Aceh, Rabu (11/1).
Partai Aceh mengusulkan pilkada ditunda karena partai pemenang Pemilu 2009 di Aceh itu berniat mendaftarkan calon kepala daerahnya. Padahal, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sudah menetapkan nomor urut pasangan calon. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menuturkan, peningkatan kekerasan di Aceh ditandai dengan penembakan terhadap warga dan penggergajian menara listrik terkait pilkada (Kompas, 11/1).
”Partai Aceh adalah kekuatan politik yang riil di Aceh. Mereka mayoritas. Apa jadinya jika tak dirajut, tak diakomodasi. Mereka tempat bernaungnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Aceh (TNA). Jangan sampai mereka kembali turun gunung karena tak diakomodasi,” kata Wakil Ketua Fraksi Partai Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Abdullah Saleh, Selasa, di Banda Aceh. Ia juga menegaskan, meningkatnya gangguan keamanan di Aceh tak lepas dari memanasnya situasi konflik politik menjelang pilkada. Jika Partai Aceh tak diberi kesempatan, jangan sampai menggali lubang menuju konflik baru.
Tingkatkan gangguan
Penundaan pilkada, kata Irwandi, justru akan semakin meningkatkan gangguan keamanan di Aceh karena akan ada banyak pihak yang dirugikan. Hal ini berbeda jika pilkada tepat waktu.
Saat ini, katanya, kondisi Aceh cukup aman untuk pelaksanaan pilkada walau ada beberapa kasus penembakan. Rangkaian penembakan yang terjadi lebih bermotif ekonomi dan tenaga kerja.
Satu dari 115 calon kepala daerah yang terdaftar dalam pilkada di 17 kabupaten dan kota di Aceh, Muhammad MTA, mengatakan, kekerasan bersenjata yang terjadi di Aceh saat ini tak lepas dari sikap pemerintah pusat yang kurang tegas dalam menjalankan ketentuan yang berlaku. Penundaan demi penundaan membuka ruang bagi kelompok tertentu untuk melakukan kekacauan.
”Jika sejak awal tegas, lalu aparat keamanan menegaskan menjamin keamanan pelaksanaan pilkada, kondisinya tak seperti sekarang. Kalau dibuka pendaftaran dan pilkada diundur lagi, siapa yang menjamin kekacauan ini berakhir,” tuturnya.
Di Jakarta, panitera MK, Kasianur Sidauruk, hari Rabu, menuturkan, MK akan menyidangkan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jumat. Perkara ini termasuk perkara yang diprioritaskan sehingga langsung disidangkan dua hari setelah didaftarkan ke MK. Kasus ini terkait pilkada di Aceh karena KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tak menemukan dasar hukum untuk menunda pilkada di Aceh lagi.
Irwandi vs Partai Aceh
Irwandi mengatakan, sikap keras Partai Aceh lebih ditujukan kepada dirinya, bukan terkait putusan MK yang memungkinkan calon perseorangan mengikuti pilkada di Aceh. ”Saya dulu tak dicalonkan Partai Aceh. Saya maju lewat jalur independen. Saya hanya mengikuti hukum. Tidak ada lobi-lobi ke pusat,” katanya. Irwandi dalam pilkada tahun 2012 ini pun maju kembali melalui jalur perseorangan.
Partai Aceh mengusung pasangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Namun, partai itu memutuskan tak mendaftarkan calonnya karena menolak putusan MK. Putusan MK itu dinilai memangkas keistimewaan Aceh yang terangkum dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Irwandi mengaku menawarkan kepada Partai Aceh, dia akan mundur dari jabatan gubernur sehingga sama dengan calon lain. Tawaran itu tidak ditanggapi Partai Aceh.
Saat MK memerintahkan KIP Aceh membuka lagi pendaftaran calon pada awal Desember 2011, Partai Aceh tak memanfaatkannya. Ironisnya, Partai Aceh mendesak Mendagri agar membuka peluang bagi calonnya saat ini.
Menurut Abdullah Saleh, sikap Partai Aceh menolak mendaftar bukan karena Irwandi atau calon perseorangan. ”Penolakan karena pilkada yang digelar KIP Aceh cacat hukum. Tahapan pilkada bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh,” tandasnya.
Langkah tak tepat
Anggota Komisi II DPR, Arif Wibowo (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan Nurul Arifin (Partai Golkar), di Jakarta, Rabu, menilai langkah Mendagri mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara ke MK terkait pilkada Aceh tidak tepat. Jika KIP Aceh tak mau menunda lagi pilkada di Aceh, Presiden harus berani membuat peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) yang memungkinkan penundaan itu. Putusan KIP Aceh bukan domain MK.
Mendagri Gamawan Fauzi, Rabu, di Jakarta, tetap mengharapkan peluang membuka pendaftaran kembali untuk Partai Aceh pada Pilkada Aceh. Ia juga membantah jika pemerintah dianggap tidak tegas menangani pilkada di Aceh. (han/dik/fer/ina/ana)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.