Jakarta, Kompas – Penyelesaian sengketa pemilihan umum kepala daerah diusulkan selesai dalam waktu sebulan. Sebab, dibuka peluang untuk mengajukan upaya hukum lanjutan.
Dalam Rancangan Undang- Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah yang disiapkan Kementerian Dalam Negeri, sengketa hasil pilkada akan dikembalikan ke Mahkamah Agung.
”Putusan MK terkait sengketa hasil pilkada bersifat final dan mengikat. Kalau putusan keliru, orang tetap harus menerima seperti putusan yang problematik di Kobar (Kotawaringin Barat),” tutur Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kemdagri, Djohermansyah Djohan, Selasa (22/11), di Jakarta.
Karena itu, pada Pasal 127 dan 128 RUU Pilkada tercantum keberatan atas hasil penghitungan suara diajukan ke MA selambatnya tiga hari setelah penetapan hasil itu. Kewenangan itu dapat didelegasikan ke pengadilan tinggi (PT) yang memutus sengketa paling lambat 14 hari sejak permohonan diterima.
Atas vonis dari PT, masih dapat diajukan upaya hukum kasasi ke MA. Putusan sengketa yang bersifat final dan mengikat dari MA juga harus diterbitkan paling lambat 14 hari setelah permohonan kasasi diterima.
Sistem peradilan sengketa hasil pilkada sudah berubah dua kali sejak pilkada langsung diterapkan. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, gugatan sengketa hasil pilkada diajukan ke MA melalui pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Selanjutnya, MA memutus sengketa 14 hari setelah permohonan diterima di pengadilan negeri (PN) atau PT. MA juga dapat mendelegasikan kewenangan ke PT untuk memutus. Vonis atas sengketa hasil penghitungan suara bersifat final dan mengikat.
Pada UU No 12/2008 Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penanganan sengketa hasil penghitungan suara dialihkan ke Mahkamah Konstitusi.
Revisi UU No 32/2004 yang dijabarkan dalam RUU Pemerintah Daerah, RUU Pilkada, dan RUU Desa mengembalikan wewenang menangani sengketa hasil pemilihan ke MA. Menurut Djohermansyah, sengketa hasil penghitungan suara hanya untuk calon gagal yang perolehan suaranya berbeda tipis dengan calon yang menang. Bila selisih jauh dan penggugat mengusung masalah pelanggaran meluas, masif, dan terstruktur, itu semestinya ditangani sebagai pidana pemilu.
Terhadap usulan itu, anggota Komisi II DPR, Arif Wibowo, meminta pemerintah menentukan dulu pilkada dianggap sebagai rezim pemilu atau rezim pemerintah daerah. Ketika dianggap sebagai urusan pemda, wajar bila sengketa hasil pilkada ditangani MA. Sebaliknya, bila pilkada dianggap sebagai rezim pemilu, kewenangan di tangan MK. (INA)
Source : Kompas.com