Jakarta, Kompas – Rancangan undang-undang pengganti atas UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum akhirnya disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (20/9), di Jakarta. Peran partai politik dalam penyelenggaraan pemilu menjadi lebih dominan sebab terlibat dalam penetapan dan pengawasan sekaligus bisa masuk struktur lembaga penyelenggara pemilu.
UU baru itu memberikan peluang bagi anggota atau pengurus partai turut dalam pencalonan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Anggota parpol diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota KPU dengan syarat mundur dari parpol begitu mendaftarkan diri (Pasal 11 Huruf (i)). Begitu pula di Bawaslu, seseorang harus mundur dari parpol begitu mendaftar sebagai calon anggota (Pasal 85 Huruf (i)).
Padahal, dalam UU No 22/2007, anggota parpol tak bisa mencalonkan diri sebagai anggota KPU atau Bawaslu. UU Penyelenggara Pemilu lama mengatur, seseorang bisa mendaftar sebagai penyelenggara pemilu asal tak terlibat dalam keanggotaan dan kepengurusan parpol minimal lima tahun sebelumnya.
Parpol juga memiliki peran dalam seleksi serta penetapan anggota KPU pusat yang berjumlah tujuh orang. Presiden wajib menyerahkan 14 nama calon anggota KPU hasil seleksi panitia seleksi kepada DPR untuk diuji kelayakan dan kepatutan. DPR bisa mengembalikan calon yang diajukan presiden jika dianggap tidak layak.
”Jika DPR hanya bisa memilih empat calon, artinya masih kurang tiga calon. Presiden diminta mengajukan enam calon lagi,” ujar anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Gede Pasek Suardika.
DPR juga berperan dalam tahapan penyelenggaraan pemilu. KPU harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam penyusunan serta penetapan pedoman teknis setiap tahapan pemilu (Pasal 8 Ayat (1) Huruf (c)).
Parpol dilibatkan dalam pengawasan terhadap lembaga penyelenggara pemilu karena menjadi anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia Girindra Sandino di Jakarta, Selasa, mengakui, materi perubahan UU Penyelenggara Pemilu sarat kepentingan parpol. Oleh karena itu, keinginan untuk mengajukan uji materi terhadap UU itu ke Mahkamah Konstitusi harus dilakukan dan didukung oleh publik.
Girindra menyatakan, uji materi adalah kesempatan menguji konstitusional atau tidaknya ketentuan dalam UU Penyelenggara Pemilu dikaitkan dengan prinsip kemandirian penyelenggara pemilu yang dinyatakan dalam konstitusi. Materi UU adalah produk kompromi politik parpol di DPR bersama pemerintah dan menguatkan kendali partai terhadap KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu.
Perbaikan pemilu
Menurut Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap (Fraksi Partai Golkar), UU baru itu dibuat untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu. Namun, ia menampik besarnya peran parpol dalam penyelenggaraan pemilu. Parpol hanya dilibatkan dalam DKPP yang bertugas menangani pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu.
Parpol perlu dilibatkan dalam DKPP karena merupakan pihak yang paling berkepentingan langsung dalam pemilu. Selain mengawasi penyelenggaraan pemilu, keberadaan parpol dalam DKPP juga bertujuan agar bisa saling mengawasi.
Chairuman menambahkan pula, UU Penyelenggara Pemilu baru tidak mengatur keterlibatan anggota parpol di KPU atau Bawaslu. UU memberikan kesempatan kepada semua warga negara, termasuk yang menjadi anggota parpol, pejabat negara, dan pejabat pemerintahan, turut dalam penyelenggaraan pemilu. Anggota parpol tak serta-merta bisa menjadi anggota KPU dan Bawaslu. Mereka juga harus mundur begitu mendaftar dan harus mengikuti proses seleksi, seperti yang diatur dalam UU.
Terkait kewajiban KPU berkonsultasi dengan DPR, lanjut Chairuman, hal itu untuk mencegah kekacauan dalam pemilu. ”Pengalaman yang lalu, berbagai aturan yang dibuat KPU tak sesuai dengan UU dan membuat kebingungan peserta pemilu. Karut-marut pemilu juga disebabkan aturan KPU yang tak jelas. Karena itu, sekarang KPU harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan agar tak ada lagi kekacauan pemilu,” ujarnya.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Sultan Khairun Ternate, Margarito Kamis, menilai, latar belakang anggota KPU dari politik dinilai tak bermasalah. Independensi KPU sebagai penyelenggara pemilu tak tergantung dari latar belakang komisioner. Komisioner KPU dalam dua periode terakhir, yang profesional dan dinilai independen, ternyata tak mampu menciptakan pemilu berkualitas. (nta/dik/bil)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.