hokseumawe | Harian Aceh – Pos Bantuan Hukum dan Pengaduan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PB-HAM) Aceh Utara menilai pernyataan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bahwa banyak tokoh Aceh yang diperintahkan untuk ‘dihilangkan’ di massa konflik, bisa menjadi petunjuk baru bagi aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus pembunuhan Rektor IAIN Ar-Raniry Prof Dr Safwan Idris.
“Pernyataan Irwandi Yusuf itu harus dilihat sebagai petunjuk baru bagi proses hukum dalam rangka pengungkapan kasus pembunuhan Safwan Idris. Kami yakin bahwa pernyataan Irwandi bukan sekadar ‘isapan jempol’ yang tanpa dasar,” kata Direktur Eksekutif PB-HAM Aceh Utara Zulfikar Muhammad melalui siaran persnya kepada Harian Aceh, Minggu (3/7).
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, saat berbicara dalam Raker Partai Rakyat Aceh (PRA) di Hotel Hermes Palace, Kamis (30/6), Irwandi Yusuf menyebutkan, tugas yang diberikan pada anggota GAM dilaksanakan 120 persen. “Tapi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku pemimpin-pemimpin GAM di luar negeri, tak mencapai 50 persen,” bebernya. “Itulah sebabnya, menjadi sia-sia banyak tokoh masyarakat Aceh yang diperintahkan untuk ‘dihilangkan’ di massa konflik, jika pada akhirnya seperti ini.”
Dia mencontohkan, Muhammad Jafar Sidiq adalah korban yang dihilangkan secara sia-sia. Kemudian, Tengku Muhammad Nazrudin Daud, Ismail Saputra. “Ini pun dilenyapkan,” katanya. Lalu ada nama Profesor Safwan Idris, Profesor Dayan Dawood, Teuku Johan (mantan Pangdam). “Ini juga dikorbankan karena perintah pimpinan,” kata Irwandi.
Zulfikar Muhammad menyatakan pihaknya terus melakukan monitoring khususnya terhadap pengungkapan kasus pembunuhan Safwan Idris sejak tahun 2000. “Maka pernyataan Irwandi Yusuf yang notabene adalah kalangan internal aktif Gerakan Aceh Merdeka, sangat penting menjadi petunjuk baru bagi polisi untuk menemukan ‘singa’ yang telah ‘memangsa’ nyawa Safwan Idris,” katanya.
Proses Pengungkapan
Menurut Zulfikar Muhammad, upaya pengungkapan kasus pembunuhan Safwan Idris telah dilakukan polisi sejak tahun 2000 mulai dari olah TKP sampai uji balistik terhadap proyektil yang menembus tubuh Rektor IAIN Ar-Raniry itu. Kepada media massa pada saat itu, kata Zulfikar, Kapolda Aceh Brigjen Pol Drs Dody Sumantyawan usai melantik tiga Kadit baru di lingkungan Polda Aceh tanggal 28 September 2000, mengatakan, dari uji balistik yang dilakukan pusat laboratorium Mabes Polri, diketahui jenis senjata yang digunakan menembak Prof Safwan adalah pistol kaliber 380 buatan Amerika.
Kutipan pernyataan Kapolda Dody Sumantyawan pada saat itu, kata Zulfikar, antara lain, “Itu bukan senjata standard TNI dan Polri. Sedangkan visum korban juga sudah ada”. Menurut Kapolda Dody lagi, kata Zulfikar, senjata pistol kaliber 380 buatan Amerika tersebut, setelah diteliti tidak pernah terdaftar di Polda Aceh maupun pada Perbakin. Di samping itu, kata Zulfikar, Polda Aceh mengeluarkan sketsa wajah pembunuh Safwan Idris berdasarkan keterangan para saksi mata termasuk keterangan istri korban.
Menurut catatan Zulfikar, usaha menemukan pembunuh Safwan Idris tidak hanya dilakukan oleh polisi saja pada saat itu, tapi GAM juga melakukan hal yang sama. Panglima GAM wilayah Aceh Besar Ayah Muni kepada media berbahasa Inggris pada saat itu, kata Zulfikar, menyatakan telah memerintahkan seluruh intelijen GAM untuk mencari pembunuh Safwan Idris. Sampai Ayah Muni meninggal, kata Zulfikar, tidak ada informasi sudah sejauh mana perkembangan upaya yang dilakukan GAM. Ketika itu, lanjut Zulfikar, pernyataan belasungkawa dan rasa kehilangan yang sangat dalam hanya disampaikan oleh dua Panglima Wilayah GAM, yaitu Ayah Muni (Panglima Aceh Rayek) dan Darwis Jeunib (Panglima Prang Wilayah Batee Iliek), yang waktu itu baru saja diangkat sebagai panglima wilayah.
Selain itu, kata Zulfikar lagi, gelombang demonstrasi ulama, cendekiawan serta mahasiswa yang meminta polisi segera menemukan pembunuh Safwan Idris terus bergulir, sampai lahirnya Ikrar Darussalam pada tanggal 12 Oktober 2000, dengan deklaratornya antara lain Ketua MUI Aceh Dr Tgk H Muslim Ibrahim MA, Tgk Imam Syuja’, Drs Tgk Djailani Idris (abang kandung Safwan Idris), Dr Daniel Djuned MA, H Badruzzaman Ismail, kalangan aktivis, dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya.
Berita tentang ‘dugaan’ kelompok pelaku pembunuhan Safwan Idris, lanjut Zulfikar, kembali tersiar pada tahun 2003, tepatnya Minggu tanggal 22 Juni 2003 dalam acara ikrar kesetiaan NKRI di Abdya dengan Inspektur Upacara Pj Bupati Abdya Baharuddin, yang diikuti 23 ribu peserta upacara.
“Kini, pada Juni 2011, Irwandi Yusuf yang merupakan Gubernur Aceh kembali membuka tabir tragedi pembunuhan Safwan Idris. Dengan demikian lengkap sudah bagi PB-HAM dalam mengumpulkan berbagai pernyataan terkait dugaan konspirasi pembunuhan Safwan Idris. Kelompok-kelompok yang bertikai di Aceh pada saat itu semua sudah angkat bicara, jadi tidak ada alasan bagi pihak kepolisian untuk tidak memerintahkan seluruh jajarannya segera mengejar pelaku pembunuh Rektor IAIN Ar-Raniry,” kata Zulfikar.
Desak Polisi
PB-HAM Aceh Utara meminta Kapolda Aceh segera memanggil Irwandi Yusuf untuk dimintai keterangan terkait pernyataannya di muka publik tentang pelaku pembunuhan Safwan Idris. Ini penting, kata Zulfikar, agar tidak terjadi fitnah dan saling tuduh. PB-HAM juga minta Kapolda memanggil pimpinan GAM pada tahun 2000 yang hingga saat ini masih hidup. Hal ini, kata Zulfikar, guna mengkonfrontir argumen dan keterangan terkait kasus pembunuhan Safwan Idris sebagaimana pernyataan Irwandi Yusuf.
“Kapolda Aceh kami harapkan juga segera memanggil Baharuddin (Pj Bupati Abdy tahun 2003) untuk dimintai keterangan terkait penyataannya pada tahun 2003 tentang ‘dugaan’ kelompok pembunuhan Safwan Idris. Dan, Kapolda perlu memanggil perwakilan mantan kombatan GAM Aceh Rayek untuk dimintai keterangan terkait hasil dari upaya intelijen GAM sebagaimana yang diperintahkan (alm) Ayah Muni tentang pembunuhan Safwan Idris,” kata Zulfikar.
Sedangkan kepada Komnas HAM, lanjut Zulfikar, PB-HAM Aceh Utara minta segera membentuk Tim Investigasi khusus untuk melakukan penelusuran tentang pelaku penghilangan paksa tokoh-tokoh Aceh sebagaimana pernyataan Irwandi Yusuf. “Dan, memasukkan Irwandi Yusuf serta Baharuddin dalam daftar perlindungan saksi bersama 11 saksi lainnya yang telah diperiksa Polda Aceh pada tahun 2000,” kata Zulfikar.
Di sisi lain, Zulfikar mendesak seluruh deklarator Ikrar Darussalam untuk menyurati Presiden RI dan seluruh pihak terkait untuk kembali melakukan kerja-kerja pengungkapan kebenaran terhadap kasus pembunuhan Safwan Idris. Meminta Kolisi NGO HAM Aceh sebagai pemilik data terbaik untuk kasus-kasus penghilangan tokoh Aceh, kata dia, untuk serius mendampingi terkait pernyataan Irwandi Yusuf. “Kami juga menghimbau masyarakat Aceh tetap tenang dan membiarkan proses hukum berjalan dengan baik demi terungkapnya fakta tragedi pembunuhan Safwan Idris,” katanya.
Kronologis Pembunuhan
Menurut catatan Zulfikar, penembakan yang menewaskan Safwan Idris terjadi pada Sabtu tanggal 16 September 2000, sekitar pukul 06.00 WIB di kediamannya, Jalan Al-Kindi atau persisnya di samping Pustaka IAIN Ar-Raniry. Rektor IAIN Ar-Raniry itu, kata Zulfikar, ditembak oleh orang tidak dikenal, dan korban menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Zainal Abidin. “Meninggalnya Prof Dr Safwan Idris bertepatan dengan tanggal lahir cucu pertamanya dari putrinya Kausari,” demikian Zulfikar.(nsy)
Source : Harian Aceh
Posted with WordPress for BlackBerry.