Home > News > Opinion > Pesan Kebencian Jelang Pemilu

Hari-hari ini di jalan raya antara Solo dan Tawangmangu dapat ditemukan poster-poster seorang calon anggota legislatif diiringi pesan ”Ko- ruptor di DPR, bacok ndhasé” (Koruptor di DPR, bacok kepalanya).

Bahwa poster semacam itu ditenggang, terbukti dari fakta poster-poster tersebut tetap terpampang hingga masa kampanye hampir berakhir. Padahal, dalam pesan itu termuat masalah etika komunikasi politik. Dampak ”pesan kebencian” (hate speech) itu amat kontraproduktif dalam menegakkan demokrasi dan demokrasi tak dapat dipisahkan dari upaya menciptakan masyarakat yang tertata baik.

Memberdayakan yang lumpuh

Bertolak dari definisi Allport, Rita Kirk Whillock mengatakan, setiap mengarahkan energi agresif kepada suatu pihak, kita cenderung melakukan hate speech (Robert E Denton, Political Communication Ethics, 2000). Dan, pemilih manakah yang tidak kesal bila para wakil rakyat yang dipilihnya ternyata membusuk dan mencari keuntungan pribadi dan bukan memperjuangkan nasib rakyat pemilih? Kebanyakan dari kita agaknya sependapat, anggota dewan di tingkat pusat maupun daerah yang melakukan apa saja yang dikategorikan sebagai ”korupsi” harus mendapat hukuman setimpal.

Whillock juga mengatakan, hate speech memuat keinginan dan harapan untuk mengubah secepat mungkin, saat ini juga. Rakyat pemilih merasa pemberantasan korupsi di kalangan anggota dewan jauh lebih lambat daripada seharusnya—karena berbagai kendala dari dalam—akan tertarik dengan pemecahan seketika, bacok waé ndhasé (bacok saja kepalanya).

Pesan kebencian mempunyai satu kelebihan lain lagi, yaitu meningkatkan ”persatuan dan kesatuan”. Para individu yang tak berdaya, yang marah dan sakit hati, yang kecewa dan dikecewakan, yang apatis dan sinis, yang bingung, dan yang cenderung menjadi golput disatukan dan diberdayakan. Mereka merasa diakui keberadaannya, ”bahasa” perasaannya, diwakili dan dihormati. Singkatnya, mereka tidak lagi teralienasi dari dinamika politik yang bagi sementara orang terasa melumpuhkan atau, setidaknya, membingungkan ini.

Dengan kata lain, fungsi retoris hate speech adalah—dalam kata-kata Bung Karno—samenbundeling van alle revolutionaire krachten (bersatu padunya semua kekuatan revolusioner). Berbagai kekuatan yang semula lumpuh, apatis, sinis, putus asa, bingung, dan cenderung menjadi golput diikat dalam kesatuan emosional yang menggugah dan mengajak bertindak, bacok waé ndhasé (bacok saja kepalanya).

Konsientisasi dan demokrasi

Persoalan hate speech terletak pertama- tama pada sifatnya yang tidak dialogis. Ini berbeda sama sekali dengan program konsientisasi yang pernah dicanangkan mendiang Paulo Freire, yang juga bertujuan untuk memberdayakan mereka yang secara politis lumpuh dan bisu.

Freire tidak pernah menganjurkan bahwa program aksi hanya ”kesimpulan” si pembicara yang sekadar ”disuapkan” kepada pendengar guna menggugah emosi. Program aksi harus muncul dari dan dalam deliberasi publik, dari tanya jawab bersama yang sedapat mungkin mengibaskan diri dari pengaruh kekuasaan.

Freire akan cenderung menyebut kampanye politik hate speech bukan sebagai ”komunikasi”, melainkan sebagai ”komunike”; bukan sebagai pemberdayaan atau tindakan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, tetapi sebagai aktivitas yang ”melestarikan kebodohan bangsa”.

Dalam bahasa Whillock, pesan kebencian itu membuat diskursus macet. Tak pernah ada alasan untuk mendiskusikan perasaan dengan pihak yang dibenci. Kita tidak setuju dengan para koruptor karena mereka menyalahi fiduciary duty, menyalahi kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada mereka.

Para koruptor itu menyalahi janji mereka untuk tidak menyalahgunakan wewenang. Meminjam istilah Paul Ricoeur, mereka gagal merajut identitas naratif yang koheren. Kita tidak setuju dengan para koruptor karena mereka ujung- ujungnya menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Namun, dengan hate speech, semua alasan ini tersisih. Kesempatan untuk bersama-sama belajar, untuk menyadari dengan kata-kata sendiri, alasan-alasan di balik penolakan (disapprobation) atas korupsi hilang lenyap. Korupsi menjadi seperti benda magi yang membawa dampak negatif, yang pokoknya harus dibenci, seperti ”tujuh setan desa”, atau ”tujuh setan kota”, atau ”antek Nekolim”.

Hakikat pemilihan umum

Salah satu hakikat pemilihan umum dalam negara demokratis, seperti berulang kali ditandaskan pemikir sekaliber Rawls dan Habermas, ialah agar rakyat yang nanti dikenai norma hukum dapat ikut berpartisipasi dalam proses penyusunan hukum, dengan cara memilih mereka yang akan menghasilkan produk hukum.

Dalam pemilu, rakyat memilih anggota badan legislatif (pembuat hukum). Dengan cara begitu, secara tidak langsung rakyat ikut menentukan produk legislatif macam apa yang nanti akan dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, nanti hukum yang diberlakukan dan harus dipatuhi rakyat ialah hukum yang tidak jauh dari aspirasi rakyat sendiri.

Meminjam istilah Ricoeur lagi, warga negara tetap merupakan individu yang bebas, tetapi masyarakat yang tertata baik membutuhkan ”otoritas” yang dipatuhi oleh individu-individu yang bebas itu. Dalam negara demokrasi, rule of law menjadi amat penting dan pemilu yang jujur dan adil menjadi sama pentingnya.

Maka, jika pemilu dan penegakan hukum ibarat dua sisi dari sekeping medali demokrasi, bagaimanakah kita harus mencerna kontradiksi dalam sebuah komunikasi politik yang mengajak pemilih untuk ”membacok kepala koruptor” seakan- akan tanpa mengindahkan adanya kaidah hukum?

Alois A Nugroho Staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya; Pengajar Etika Komunikasi Politik Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI dan STF Driyarkara, Jakarta

Source : Kompas Online, 3 April 2009

You may also like
Politik Dinasti

Leave a Reply