Tulisan ini di kutip dari blog Nirwansyah Putra, 15 April 2008
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (pilgubsu) 2008 tinggal sehari lagi. Kecurangan pemilu diprediksikan, diduga bakal terjadi. Titik perhatian ditujukan pada pencoblosan, penghitungan suara. Mengapa penyelenggara disebut titik rawan?
* * *
Walau bernama minggu tenang, dipastikan tim pemenangan dan terutama masing-masing calon gubsu terus berdegup jantungnya. Hingga laporan ini dipublikasikan di blog ini, pencoblosan pilgubsu 2008 yang akan berlangsung 16 April 2008, hanya tinggal satu hari lagi. Suasana tenang yang ada di permukaan memang menutupi kondisi panas dalam proses pilgubsu. Namun, gosip politik sudah terlanjur mengemuka: pilgubsu bakal curang. Benarkah demikian?
“Demikian juga terhadap isu kecurangan, omong kosong bisa kita awasi kalau kita tidak mau peduli terhadap pelaksanaannya,” ujarnya Sekdapropsu Muhyan Tambuse yang juga Ketua Desk Pilgubsu 2008. Komentar Muhyan itu dikutip wartawan sewaktu berbicara di Sidikalang pada 23 Maret lalu.
Di mana titik-titik potensi kecurangan pada pilgubsu 2008 ini?
Penyelenggara
Dr Mukhtar Effendi Harahap, Direktur Jaringan Studi Asia Tenggara mengatakan setidaknya ada dua jalur kecurangan yang bisa ditelusuri. ”Jalur masyarakat dan penyelenggara,” katanya ketika dijumpai di Hotel Madani Medan beberapa hari lalu. Kecurangan yang difokuskan Mukhtar ada pada titik penentuan hasil suara yaitu pencoblosan, penghitungan dan penetapan hasil suara. Sementara kecurangan dalam tahap sebelum itu, tidak akan berarti banyak hasil pilgubsu 2008.
Analisis Mukhtar menyebutkan, tim pemenangan cagub-cawagub mulanya akan berkonsentrasi untuk menggarap masyarakat pemilih. Bentuknya bisa iming-iming, uang maupun jalur refresif. Garapan ini sudah dikerjakan sejak lama melalui kampanye dan bakal diintensifkan sebelum hari H pemilihan. Jaringan tim sukses calon di akar rumput maupun di elit politik dan tokoh politik, sosial, ekonomi dan budaya sudah bermain untuk mengondisikan dan memprediksikan berapa suara yang bisa digarap. Mapping area sudah dilakukan dengan asumsi miris bahwa mapping itu disertai dengan berapa cost yang harus dikeluarkan per suara ataupun daerah pemilihan. ”Puncaknya nanti ketika pencoblosan (Tempat Pemungutan Suara, red),” terang Mukhtar.
Secara sosiologi politik, Mukhtar memakai pisau analisis kelas di sini. Dia membagi lapisan masyarakat pada empat bagian. Calon gubsu berada di puncak piramida sementara lapisan kedua adalah lingkar dalam cagub. Lingkar dalam dapat berupa sponsor alias penyumbang maupun pihak yang berkepentingan dengan calon. Di situ, tidak hanya uang yang menjadi soal, namun posisi politik dan ekonomis yang ditawarkan calon.
Sementara itu, di jaringan ketiga adalah jaringan tim sukses yang berada langsung di atas masyarakat pemilih. Tugasnya menjadi operator pelaksana dari pemenangan. ”Itu bila memakai teori kapital. Bila ini diterapkan maka pemilik kapital terbesar akan menuai hasil maksimal. Itupun dengan persepsi bahwa pemilu itu curang. Tapi lain lagi ceritanya bila asumsi semula mengedepankan pemilu berjalan jujur dan adil,” tambah Mukhtar.
Garapan kedua adalah penyelenggara. ”Penyelenggara pemilu menjadi titik fokus utama untuk melihat skala kecurangan dalam pilgubsu 2008 nanti,” terangnya.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sumut dengan seluruh perangkatnya hingga ke bawah menjadi unit analisis. Seperti diketahui mulai dari TPS ada Panitia Perhitungan Suara (PPS) , Panitia Perhitungan Kecamatan (PPK), KPU Kabupaten/Kota dan KPUD Sumut. Kecurangan sudah akan dimulai sejak di TPS. Tapi jangan lantas terfokus di sana, karena permainan sesungguhnya dimulai sejak di tahapan penghitungan dan penetapan di Panitia Pemilihan Kecamatan. ”Karena itu kuncinya adalah siapa paket yang paling kuat jaringannya di tubuh penyelenggara ini,” tegas Mukhtar lagi.
Dugaan ”permainan” di tingkat penyelenggara ini memang menganga lebar. Karena pencoblosan baru akan dilakukan pada 16 April mendatang, kasus yang menjadi sorotan adalah perubahan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Seperti diketahui, perubahan ini sudah terjadi hingga lima kali.
Kecurigaan itu misalnya ditandai dengan terjadinya kelebihan kertas suara yang dicetak sebagai akibat dari kesalahan DPT yang ditetapkan. Apalagi, sisa suara menjadi bahan yang sering dipermainkan. Indikasi kedua adalah banyaknya pemilih yang tidak terdaftar.
Peraturan soal DPT ini bukan tak lemah. Dalam UU No 32/2004 dijelaskan, proses penyusunan daftar pemilih diawali Depdagri dengan terlebih dahulu menyusun Data Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP4) ke daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Setelah itu dilakukan pemutakhiran data penduduk dan pemilih potensial. Kemudian KPUD melakukan pendaftaran pemilih. Jika KPUD menerima DP4, pemutakhiran data sudah bisa dilakukan.
Waktu mendekati pemungutan suara dan kualitas data resmi yang diterima KPUD dari pemerintah daerah, merupakan sebab munculnya masalah menonjol pada tahap penetapan daftar pemilih. Saat inilah terdapat pemilih ganda, pemilih fiktif atau tidak dikenal (ghost voters). Kasus warga yang mestinya memiliki hak pilih, namun justru tidak terdaftar, juga masih ditemukan, termasuk adanya double KTP.
Di situ, yang menjadi instrumen pengikat adalah uang selain politis. ”Kita sedang berjuang mencegah pelanggaran. Yang melanggar akan menjadi temuan Panwas,” tegas Ketua Panwaslih Gubsu 2008-2013, David Susanto SE.
Soal dugaan kecurangan dari tubuh penyelenggar ini memang tak sedap. Panwas sendiri mengaku pihaknya sudah terus melakukan usaha pencegahan ke arah itu. ”Kita bisa berusaha mencegah, supaya demokrasi jangan dicederai. Kita tidak inginkan kawan-kawan di situ terjebak penyimpangan. Satu suara yang hilang, rusak itu akan menjadi pertanyaan masyarakat luas,” katanya.
Soal rusaknya kertas suara juga menjadi sorotan tersendiri. ”Sangat tidak masuk akal, surat-surat itu rusak. Kenapa bisa terjadi kerusakan. Itu kan perusahaan yang lulus dari BIN (Badan Intelijen Negara-red). Sampai sekarang nomor seri kertas suara itu tidak ada yg tahu kecuali KPU,” tandas David.
Menurut dia, hal itu bisa membuka peluang pemalsuan surat suara dalam pilgubsu 2008 ini. ”Untuk menentukan uang asli saja kita kan harus menerawang, meraba dan seterusnya. Ini gak tahu kita. Ya, merekalah yang tahu. Tapi siapa yang bisa mengawasi kalau ada pemalsuan surat suara?’ ujar David lagi. Apalagi, ada persoalan lain yaitu luasnya wilayah pemilihan.
Tapi, ”Pada prinsipnya kami memonitoring ke seluruh posisi,” tegas David. (*)
foto oleh Roemono