Pilkada Aceh sebagai wadah rakyat untuk memilih kepala daerah secara demokratis tampaknya mulai terceredai. Bermula dengan adanya keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA berdasarkan permohonan judicial review telah menyebabkan wacana Pilkada Aceh stagnan di persoalan waktu penyelenggaraan.
Itu artinya, secara politik rakyat Aceh kini sudah terbelah tiga. Pertama, mereka yang ingin bersegera menggelar hajatan demokrasi dengan keikutsertaan calon independen. Kedua, mereka yang ingin mengundur Pilkada untuk menyelesaikan masalah calon independen paska keputusan MK. Sedangkan ketiga adalah mereka yang lega dengan keputusan MK namun tetap menginginkan adanya payung hukum baru terkait Pilkada Aceh 2011.
Jadilah kini Pilkada Aceh sebagai Pilkada balapan. Ada yang ingin segera tancap gas meski hanya mungkin menyetir kendaraan calon independen. Ada pula yang ingin menunda lebih dahulu meski sudah memiliki kendaraan partai politik. Dan, ada juga yang mengajak bertanding jika sudah ada aturan baru.
Sampai pada tahapan ini, kelihatannya, yang ingin segera “tancap gas” adalah mereka yang sudah biasa “ngebut” dan “nyelip” di sirkuit politik sementara lainnya baru akan melakukan starter kendaraan politik.
Namun, jika ditelesuri lebih dalam semua pihak sepertinya sedang berusaha mengabaikan apa yang disebut dengan “ruh” politik Aceh. Sesuatu yang terus diperjuangkan dan akan masih harus diperjuangkan untuk menemukan bentuknya yang ideal Aceh, yang dahulu kerap dimunculkan yakni self-government dalam pengertiannya yang meuaceh.
Dengan begitu, mau tidak mau yang disebut dengan Politik Aceh itu memang berbeda dengan politik nasional. Jika saja UUPA itu lahir dari dinamika politik perubahan biasa tentu saja ke-spesial-an Aceh menjadi aneh dalam rumah besar keindonesiaan. Namun, karena UUPA itu hadir dalam ruang negosiasi dengan latar konflik politik yang begitu panjang maka sesuatu yang uniquely Aceh tidak serta merta dipandang aneh dan menyimpang melainkan harus dilihat sebagai sesuatu yang khas dan bila perlu sebagai sesuatu yang exotic.
Dalam bacaan inilah keputusan MK terkait pasal 256 menjadi sesuatu yang biasa dan bisa menjadi hadiah yang semakin mengelokkan taman sari demokrasi Indonesia karena hak demokrasi semakin penuh dikembalikan kepada rakyat yang berdaulat namun dalam konteks keacehan bisa jadi menjadi sesuatu yang “melukai” karena merusak citra politik Aceh yang dalam perundingan politik sudah komit untuk mengelola demokrasi khas Aceh yang membolehkan kehadiran partai politik lokal.
Andai kedua pihak yang dahulunya berkonflik tidak terikat pada komitmen perdamaian dan spirit kemanusiaan sudah barang tentu “alat picu” konflik akan dengan mudah ditarik begitu ada percikan api politik. Dalam konteks inilah mengapa pelaksanaan Pilkada Aceh 2011 masih sangat penting untuk dikelola dengan hati-hati dan matang. Pilkada Aceh 2011 bukan pilkada ke 12 kali paska konflik melainkan Pilkada ke 2 paska konflik. Jadi bobot transisi politiknya masih sangat rapuh dan karena itu belum bisa diklaim bahwa proses transisi politik Aceh sudah selesai.
Dalam masa transisi politik tentu sangat penting untuk memastikan “pertarungan” politik dilangsungkan dalam sebuah game politik yang cantik, jujur, dan juga adil, yang dalam istilah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi disebutnya dengan istilah fairness khususnya terhadap incumbent yang ingin kembali bertarung untuk kedua kalinya. Pada Pilkada 2010, mantan gubernur itu mengingatkan kepala daerah untuk mengutamakan fairness saat ikut pemilihan (Pilkada). Jangan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. “Banyak incumbent berlindung di balik program kerja dengan memasang foto diri besar-besar, padahal itu kampanye gratis dirinya,” tandasnya. (Sumber: http://bataviase.co.id/node/289891)
Jika semua pihak masih bersikeras berada di Pilkada Balapan ada baiknya untuk saling bertemu dan berbincang untuk saling memetik pembelajaran guna menghadirkan Pilkada Aceh yang menyenangkan sehingga bukan hanya pembalap (kandidat) yang akan menikmati pertandingan “balapan” demokrasi melainkan pemilih juga akan sangat antusias menjadi pemilih.
Mungkin ada baiknya mencontoh apa yang dilakukan seorang pembalap MotoGP Ben Spies yang mendapat pembelajaran berharga dari bincang-bincang dengan pembalap lainnya Casey Stoner. Kata Spies “Dia (Casey Stoner) di sana bukan untuk sekadar gaya, tetapi benar-benar sibuk menata srategi dan menyapu trek. Itu sebabnya, saya menghormati dia.”
Sungguh, kalau sudah bisa saling menghormati maka persoalan kendaraan yang akan dipakai tidak akan dihabiskan untuk berdebat karena semua akan lebih mementingkan bagaimana bertanding dengan fairplay yang didukung oleh role of the game yang sudah disepakati. Mari kita semua kembali kepada spirit Aceh dan menjadikan Pilkada Aceh sebagai salah satu paket dari banyak paket yang juga masih perlu dirawat, dijaga, dan disempurnakan. Saleum
Risman A Rachman
*Pengasuh OPSI 2011Risman – Antero 102 FM , Pembuat RControl (Software Sistem Informasi Kerja Pemenangan Pilkada)
Source : Atjehpost.com
Posted with WordPress for BlackBerry.