BANDA ACEH – Tidak hanya akan mengganggu pelaksanaan tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, ketiadaan panitia pengawas pemilihan (panwaslih), diyakini juga akan mengancam pelaksanaan pilkada di Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Subulussalam. Tanpa panwas, pilkada di kedua daerah tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, rawan gugatan, bahkan berpotensi menimbulkan konflik politik berkepanjangan.
Atas pertimbangan itu, dua anggota DPR Aceh yang sudah berniat untuk ikut bertarung dalam pilkada di Pidie Jaya dan Kota Subulussalam, Mukhlis Mukhtar SH dan Syamsul Bahri SH menyatakan akan mempertimbangkan kembali pencalonan dirinya dalam ajang demokrasi untuk memilih kepala daerah tersebut.
Bahkan, Mukhlis Mukhtar yang sudah mendaftar sebagai kandidat bupati Pidie Jaya berpasangan dengan Hamdani Hamid, terang-terangan menyatakan membatalkan pencalonannya, jika tahapan pilkada tidak ditunda hingga adanya panitia pengawas. “Kalau agenda pilkada itu tidak ditinjau kembali, maka saya tidak akan ikut. Soalnya, tanpa panitia pengawas serta singkatnya waktu pelaksanaan yang hanya tiga bulan, akan membuat Pilkada Pidie Jaya tidak taat dan tidak tertib hukum,” kata Mukhlis Mukhtar, kepada Serambi, Senin (21/7).
Mukhlis yang ketika dihubungi mengaku baru saja mengikuti rapat pembahasan Rancangan Qanun Wali Nanggroe di Kementerian Polhukam dan Depdagri di Jakarta, mengatakan pertimbangan itu pula yang membuat dia dan pasangannya (Hamdani Hamid), tidak ikut serta dalam dua tahapan Pilkada Pidie Jaya yang sudah dilaksanakan KIP setempat, yakni tes kesehatan dan uji kemampuan baca Alquran. “Selain tentunya saya sebagai Ketua Pansus Raqan Wali Nanggroe, harus mengutamakan kepentingan yang lebih luas untuk advokasi raqan tersebut,” ujar Mukhlis.
Anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi ini mengatakan, berdasarkan aturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) dan Qanun Nomor 7 Tahun 2007, keberadaan panwas merupakan salah satu faktor yang menentukan sah-tidaknya pilkada. “Menurut hukum, panwas harus ada sejak tahapan pertama (pendaftaran pemilih), sampai ke pelantikan calon terpilih,” kata Mukhlis seraya menyebut beberapa pasal dalam UUPA yang mengatur tentang pemilihan bupati/wakil bupati.
Selain itu, kata dia, pada pasal 34 ayat (3) Qanun Nomor 7 Tahun 2007 disebutkan bahwa panwaslih dibentuk dalam sebuah tim ad-hoc, yakni paling lambat pada tahapan pertama pilkada dimulai, dan tim ini berakhir tugasnya paling lambat tiga bulan setelah pemilihan kepala daerah selesai.
Karenanya, kata Mukhlis, kalau tahapan Pilkada Pidie Jaya dan Subulusalam tetap dilaksanakan tanpa panwas, maka dipastikan hasilnya tidak akan punya kekuatan hukum, sehingga rawan gugatan dan berpotensi melahirkan konflik politis berkepanjangan. “Untuk pertandingan sepakbola atau geudeu-geudeu (sejenis gulat khas Aceh -red) di tingkat gampong saja harus ada wasit. Kan tidak mungkin jika proses pilkada yang akan menentukan masa depan daerah tidak punya ’wasit‘,” tukas Mukhlis.
Selain faktor belum adanya panwas, ia juga menilai jadwal pilkada yang disusun oleh KIP Pidie Jaya, terlaku dipaksakan. “Normalnya sebuah proses pilkada dilaksanakan dalam waktu enam bulan, sedangkan ini hanya tiga bulan. Saya pikir, waktu tiga bulan itu tidak cukup untuk melahirkan sebuah proses yang maksimal,” katanya seraya menyebutkan bahwa jadwal tersebut ditetapkan oleh KIP secara sepihak tanpa koordinasi dengan Pemkab dan DPRK setempat.
Di luar itu, KIP Pidie Jaya yang hingga kini belum punya alokasi dana yang jelas, juga harus dipastikan akan menghadapi beban cukup berat, karena harus melaksanakan dua agenda besar sekaligus, yakni pilkada (agenda daerah) dan Pemilu 2009 (agenda nasional). “KIP itu dibentuk bukan hanya untuk melaksanakan pilkada saja, tapi lembaga itu juga harus melaksanakan agenda nasional (pemilu dan pilpres). Apakah mungkin, ketika alokasi dana mereka belum jelas, harus melaksanakan dua agenda besar ini,” ucap Mukhlis.
Berdasarkan sejumlah pertimbangan itu, Mukhlis mengatakan dirinya akan menggalang dukungan dari para kandidat, ulama, dan tokoh masyarakat Pidie Jaya, untuk menyampaikan pernyataan sikap kepda Pemerintah Aceh agar membatalkan proses pilkada dan menunda hingga selesainya pelaksanaan Pemilu 2009.
“Saya pikir, agar tidak terjadi konflik ke depan, dan hasilnya sesuai dengan tujuan pemekaran, yakni menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, memperpendek tentang kendali, dan meningkatkan kesejahteraan, maka Pilkada Pidie Jaya harus berprinsip adil, demokratis, damai, aman, tertib, lancar, berkulitas, dan bermartabat. Untuk itu, pilkada harus ditunda hingga keadaan di lapangan benar-benar kondusif,” ujar Mukhlis.
Hal senada diungkap oleh kandidat wakil walikota Subulussalam, Syamsul Bahri SH, yang dihubungi secara terpisah, kemarin. Syamsul mengatakan, meski belum secara resmi mendaftar sebagai calon, ia terpaksa harus meninjau kembali rencana pencalonannya. Pasalnya, kata Syamsul, hingga saat ini, perangkat pelaksana pilkada di Subulussalam belum lengkap tanpa kehadiran panwas.
“Ini terlepas dari saya salah seorang kandidat, mestinya ketika tahapan pilkada dimulai, seluruh perangkatnya harus lengkap, mulai dari KIP, PPK, hingga PPG. Yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan panitia pengawas. Sampai hari ini kan pengawasnya belum ada, sementara tahapan sudah mulai. Ini aneh, bagaiamana jika ada pelanggaran, siapa yang akan menegur atau mengambil tindakan,” ujar anggota Komisi A dari Fraksi PBR ini.
Seperti halnya Mukhlis Mukhtar, Syamsul juga berpendapat bahwa tanpa pengawas, pilkada tidak boleh dilaksanakan. “Tahapannya tidak bisa dilaksanakan, sebab tak jelas siapa yang akan melakukan pengawasan. Karenanya, kita berharap jika memang perangkat pelaksanaan pilkada belum lengkap, maka untuk apa dipaksa. Sebaiknya ditunda dulu, setelah semua lengkap baru dilaksanakan kembali,” ujar putra Singkil ini. (nal)
Source : Serambi Indonesia