Lhokseumawe | Harian Aceh – Ketua Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Mukhlis Taib menilai polemik terkait Pemilukada Aceh yang terjadi belakangan ini bukan karena persoalan hukum, tapi ego kepentingan politik kelompok tertentu.
Yang muncul sekarang persoalan politik yang mempunyai kepentingan dan keinginan tersendiri, bukan karena persoalan hukum. Kalau persoalan hukum, misalnya, terkait Qanun Pemilukada, itu bisa dibahas kenapa deadloc. Tapi kalau menyangkut kepentingan dan tetap mempertahankan ego, ini yang menjadi masalah. Ini perlu diwaspadai, karena ada pihak yang akan mengambil keuntungan,” kata Mukhlis Taib saat dihubungi, Jumat (22/7) sore.
Menurut Mukhlis, sesuai ketentuan hukum Pemilukada kali ini bisa dilaksanakan dengan qanun yang lama, karena belum ada qanun baru. Namun karena adanya kepentingan politik, kata dia, kelompok tertentu menciptakan konflik baru. “Persoalan sebenarnya cuma sedikit, tidak diakuinya calon perseorangan. Sayangnya, persoalan ini sekarang digiring melebar ke mana-mana. Jadi ini konflik yang diciptakan sehingga membesar. Padahal mestinya soal calon perseorangan itu biar rakyat yang menilai, biar alam yang menyeleksinya,” katanya.
Mukhlis mengingatkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan sudah final. Apapun kejadian yang muncul, kata dia, keputusan tersebut tidak bisa berubah. “Karena keputusan MK sudah final, maka harus dilaksanakan. Jika tidak, melanggar hukum. Karena itu, semua harus sesuai mekanisme yang ada. Kalau mau melaksanakan Pemilukada damai, lanjutkan, untuk memperoleh pemimpin yang sehat,” kata mahasiswa program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjajaran Bandung ini.
Terkait penghentian anggaran Pemilukada, Mukhlis menilai jika hal itu berdasarkan kepentingan politik maka bisa saja terjadi. Pasalnya, jika kepala daerah menolak permintaan parlemen, dikhawatirkan pemerintahan akan digoyang. Bila permintaan tersebut dipenuhi, kata dia, tentu Pemilukada akan tertunda. “Jika ditunda efeknya berat, pemimpin Aceh mulai dari provinsi sampai kabupaten/kota kemungkinan akan di-PJ-kan. Itu tidak bagus dalam sistim pemerintahan,” katanya.
Ia juga menyayangkan sikap elit Aceh yang mulai kebiasaan hanya gara-gara mempertahankan ego kepentingannya, kemudian meminta fatwa kepada pemerintah pusat. “Sedikit masalah sudah minta diselesaikan oleh pusat, apakah kita selalu menginginkan seperti itu. Efeknya, daerah dianggap tidak mampu berbuat apa-apa. Pemerintah Pusat akan tertawa, bertepuk tangan sambil mengatakan ‘peucit raya that su, sapeu han bereh’,” kata Mukhlis.(nsy)
Source : Harian Aceh
Posted with WordPress for BlackBerry.