Home > Education > Political Marketing > Politik Hanya Jadi Mainan Elite

Politik Hanya Jadi Mainan Elite

Jakarta, Kompas – Praktik politik sampai kini masih dikuasai elite, terutama melalui partai politik yang berkuasa. Masyarakat hanya dibutuhkan ketika pemilihan umum. Setelah itu, rakyat hanya menjadi penonton. Akibatnya, kepentingan publik pun kerap terabaikan.

Kritik tersebut mengemuka dalam diskusi tentang Nahdlatul Ulama (NU) dan masa depan politik Indonesia di The Wahid Institute, Jakarta, Jumat (17/6). Pembicara dalam diskusi itu adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD, Ketua Umum Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, mantan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) NU KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional Ulama Choirul Anam, Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, dan Ny Shinta Nuriyah Wahid (istri mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid). Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Said Ali tidak hadir, tetapi mengirimkan makalah.

Menurut Yenny Wahid, sambil mengutip makalah As’ad Said, politik saat ini dikuasai elite yang terorganisasi dalam partai politik. Saat ini terjadi partokrasi, dalam arti semua energi politik diarahkan ke partai dan untuk kepentingan partai. Masyarakat hanya menjadi penonton, dan kebutuhannya sering kali dibiarkan terbengkalai.

”Kondisi ini perlu didobrak oleh kita semua. Soalnya, kejahatan yang terorganisasi bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi,” katanya.

Menurut As’ad Said, Indonesia juga mengalami krisis dengan terjadinya defisit demokrasi, yakni fenomena paradoksal berupa meluasnya perkembangan hak sipil politik di satu pihak, tetapi tidak disertai pemajuan hak sosial dan ekonomi di pihak lain.

Penerapan ideologi

Mahfud MD menjelaskan, demokrasi yang kita capai sekarang ternyata tidak diimbangi dengan penegakan hukum. Gangguan terhadap negara ini bukan datang dari masalah ideologi, melainkan terutama dari penerapan ideologi itu dalam pemerintahan. Dalam proses itu, ternyata kita dirongrong oleh korupsi dan oligarki kekuasaan.

Oligarki tersebut merupakan kerja sama antarelite politik yang hanya memikirkan kekuasaan bagi diri sendiri. Akibatnya, kepentingan rakyat justru tersingkirkan. ”Oligarki politik mesti dibatasi dengan cara penegakan hukum yang adil,” katanya.

Choirul Anam mengungkapkan, partai besar yang berkuasa saat ini sudah tumbuh bagaikan mafia. Mereka berkuasa dan terus ingin melanjutkan kekuasaannya, kalau perlu dengan menyingkirkan partai kecil. Mereka juga tidak sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat yang memilihnya.

”Partai-partai itu lebih banyak membicarakan bagaimana merebut kursi kekuasan daripada bagaimana membuat rakyat sejahtera,” katanya.

Dalam situasi seperti ini, Choirul Anam mengajak masyarakat, termasuk warga NU, mengembalikan demokrasi pada semangat yang benar. Kader NU yang tersebar dalam banyak organisasi dan partai semestinya memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Hasyim Muzadi berharap kelompok masyarakat madani, seperti NU, perlu menjaga kemandirian dari pemerintah. Dengan tetap independen, NU akan bisa mendukung kebijakan yang baik sekaligus mengkritik sesuatu yang menyimpang. (IAM)

Source : Kompas.com

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik
Elemen Kejutan dari Pencalonan Anies
Pakar: Golkar Tengah Mainkan Strategi Marketing Politik

Leave a Reply