Home > Education > Political Marketing > Politik Uang Kian Membudaya

Source: Kompas Cetak

JAKARTA, KOMPAS.com — Praktik politik uang selama penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 semakin mengkhawatirkan. Sebagian masyarakat tidak malu lagi meminta uang dari para calon anggota legislatif. Kondisi ini tidak bisa lagi dianggap remeh karena dapat menghancurkan nilai-nilai berdemokrasi.

Sejumlah calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengakui pernah dimintai uang oleh masyarakat saat berkampanye. Salah satunya Ace Hasan Syadzily, caleg Partai Golkar dari Daerah Pemilihan Banten I. ”Kalau dimintai (uang), ya, setiap saat, Mbak, tapi saya selalu menolak,” katanya, Senin (14/4).

Hal serupa dialami Teguh Juwarno, caleg Partai Amanat Nasional (PAN) dari Dapil Jawa Tengah IX. ”Ada yang menanyakan uang, tetapi saya balik tanya kepada mereka. Saya kasih Rp 50.000 untuk lima tahun dan saya tidak akan ke sini (konstituen) lagi, mau atau tidak? Mereka bilang tidak mau,” tuturnya.

Caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Dapil Jawa Barat VII, Mardani Alisera, juga beberapa kali dimintai uang menjelang pemilihan. ”Banyak yang tanya, ada uang es enggak?” katanya. ”Uang es” adalah uang bekal untuk ke tempat pemungutan suara (TPS).

Istilah uang es ini memang populer di Dapil Jabar VII yang meliputi daerah Karawang, Bekasi, dan Purwakarta. Caleg Partai Demokrat, Saan Mustopa, dan caleg Partai Golkar, Nurul Arifin, yang sama-sama dari Dapil Jabar VII juga mengaku pernah dimintai uang es.

Membudaya

Para caleg menduga, rakyat semakin pragmatis karena politik uang sudah membudaya. Praktik bagi-bagi uang itu lazim dilakukan sejak pemilihan kepala desa, pemilihan bupati/wali kota, hingga pemilihan gubernur. Akibatnya, pada pemilu legislatif kali ini, masyarakat tidak malu-malu lagi meminta uang kepada para caleg.

Struktur dan jaringan yang dibangun para caleg umumnya kalah dengan politik uang. Masyarakat lebih memilih para caleg yang menebar uang.

Di Dapil Banten I yang meliputi Kabupaten Lebak dan Pandeglang, praktik politik uang marak terjadi. Banyak warga yang menerima amplop berisi uang Rp 40.000-Rp 50.000 dari tim sukses caleg tertentu. Modusnya, tim sukses melakukan serangan fajar (menebar uang) ke rumah-rumah penduduk dan meminta warga memilih caleg tertentu.

Sementara itu, di Dapil Jateng IX, praktik politik uang terjadi hingga waktu pencoblosan berlangsung. ”Tim saya cerita, sampai ada yang membagi-bagikan nasi bungkus yang di bawahnya ada uang Rp 100.000,” tutur Teguh.

Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, mengakui, masyarakat kini lebih lihai ”bermain uang” daripada Pemilu 2009. Hanya saja, dia mengakui, pemilih dari perkotaan lebih cerdas dalam menjatuhkan pilihan sehingga tidak terpengaruh oleh politik uang.

Semakin maraknya praktik politik uang dan semakin pragmatisnya masyarakat ini cukup meresahkan sebagian caleg.

Caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dari Dapil Jawa Timur VI, Eva Kusuma Sundari, sampai menulis status ”Pemenang Pileg adalah Uang” pada Blackberry Messenger-nya.

Begitu pula Ace yang menulis, ”Money politics kills our democracy” dalam status BBM-nya.

Nurul Arifin bahkan menuliskan puisi berisi penyesalan mengapa praktik-praktik kecurangan sudah menjadi kelaziman.

Rancang ulang

Eva menduga sistem pemilihan proporsional terbuka sebagai penyebab maraknya politik uang. Caleg berlomba-lomba melakukan segala macam cara, termasuk politik uang, demi mendapatkan suara terbanyak.

Menurut Ace, praktik politik uang menjadi semakin marak karena kurang ketatnya pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu. Bawaslu dan jajarannya terlalu pasif, tidak berupaya melakukan pencegahan terhadap terjadinya praktik politik uang.

Menurut Bambang, aparat pun sudah tidak berdaya. ”Saya sampai membuat sayembara di media lokal, apabila berhasil menangkap pelaku politik uang, saya beri hadiah Rp 5 juta. Namun, sayembara itu tidak laku,” katanya.

Lemahnya penindakan terlihat pada kasus dugaan politik uang yang melibatkan anak bupati yang resmi dihentikan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Malang. Penghentian kasus karena dinilai tidak cukup bukti.

Di Batam, sekelompok orang berunjuk rasa di kantor Panwaslu karena memprotes kelambanan lembaga itu menindak sejumlah dugaan pelanggaran pemilu di Batam. Padahal, ada warga datang ke kantor Panwaslu untuk melaporkan dugaan politik uang.

Mantan anggota MPR, Slamet Effendy Yusuf, mengaku miris menyaksikan masyarakat menjadikan proses pemilu sebagai ”pasar”. ”Ada tawar-menawar. Masyarakat malah ingin pemilu sering berlangsung,” ujarnya.

Slamet pun mengatakan pentingnya kembali merancang proses pemilu. ”Harus kita lihat kembali sistem itu. Partai juga harus melihat kembali sistem itu apakah sudah benar,” katanya.

Maraknya politik uang juga membuat banyak caleg stres saat tidak terpilih. Puluhan caleg gagal dari sejumlah daerah banyak yang stres dan melakukan penyembuhan di Pondok Pesantren Dzikrussyifa’ Asma’ Berojomusti di Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Pengasuh Ponpes, KM Muzakkin, menuturkan, banyak caleg terguncang jiwanya karena telah mengucurkan dana ratusan juta hingga miliaran rupiah. (NTA/RYO/DIA/RAZ/ACI/SIR)

Source : Kompas.com

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Sederet Opsi Penentu Kemenangan Pilpres
Jajak Pendapat Litbang “Kompas” : Pemilih Muda Lebih Kritis Memandang Kinerja Parlemen
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik

Leave a Reply