Jakarta, Kompas – Politik uang masih mendominasi pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah sepanjang akhir Desember 2010 sampai Juni 2011. Pelanggaran pidana ini terjadi di setiap tahapan. Namun, sangat sulit memproses pelaku secara hukum.
Dalam evaluasi pemilu kepala daerah di 36 kabupaten/kota dan pemilu kepala daerah di Sulawesi Tengah yang dilaksanakan akhir 2010 sampai Juni 2011, tercatat 582 laporan pelanggaran pidana, tetapi hanya 228 pelanggaran yang bisa diteruskan ke kepolisian. Dari jumlah itu, sebanyak 115 kasus dihentikan kepolisian.
Padahal, pelanggaran pidana dalam pemilu kepala daerah itu umumnya politik uang yang terjadi di setiap tahapan pemilu kepala daerah, mulai prakampanye, pendaftaran dan penetapan pasangan calon, kampanye, masa tenang, hingga pemungutan dan penghitungan suara. Selain itu, pelanggaran pidana yang tercatat, antara lain, pemalsuan dukungan, kampanye di luar jadwal, penggunaan fasilitas negara dan pelibatan perangkat pemerintah untuk memenangkan pasangan tertentu, perusakan atribut kampanye, serta intimidasi.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Wirdyaningsih, Kamis (16/6) di Jakarta, mengatakan, banyaknya pelanggaran yang tak dilanjutkan ke polisi umumnya dianggap tidak memenuhi unsur pidana dan kurang bukti dalam kajian sentra penegakan hukum terpadu. Pelanggaran yang dilanjutkan ke kepolisian juga umumnya terpental di tengah jalan.
”Umumnya, polisi melihat siapa yang melakukan. Kalau orang kuat, dicari-cari kekurangannya. Atau polisi lebih menggunakan pertimbangan stabilitas. Akibatnya, sepanjang situasi kondusif dan masyarakat tidak memprotes, pelanggaran dibiarkan,” tutur Wirdyaningsih seusai rapat koordinasi evaluasi kinerja Panwaslu Kepala Daerah.
Menurut Wirdyaningsih, ada juga laporan politik uang yang disimpan tim kampanye sebagai senjata dalam sidang gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adanya politik uang diharapkan menjadi pertimbangan MK untuk membatalkan keputusan KPU. Namun, ini membuat pelanggaran pidana tidak bisa diproses karena kedaluwarsa.
Di sisi lain, banyak orang menganggap uang yang diberikan sebagai pengganti biaya transportasi. Polisi pun menganggapnya bukan tindak pidana pemilu. ”Padahal, tanpa ngomong pun, orang sudah tahu untuk apa,” kata Wirdyaningsih. (INA)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.