JAKARTA – Protesnya para politisi perempuan dan calon anggota legislatif (caleg) perempuan terhadap putusan MK mengenai sistem suara terbanyak dinilai bentuk ketakutan para caleg dalam bersaing dengan lawan politiknya.
“Dalam pemilu, intinya kompetisi. Tapi harus diciptakan mekanisme kompetisi yang fair. Kalau berdasarkan nomor urut, fairnya dimana?,” kata Direktur Eksekutif Cetro Hadar Gumay saat dihubungi okezone, Kamis (25/12/2008).
Menurut dia, ketika parpol menentukan pencalonan caleg saja sering tidak demokratis dan pada gilirannya nanti menetapkan calon terpilih juga bisa saja terjadi ketidakadilan.
“Satu caleg mendapat dukungan suara masyarakat terbesar, gara-gara tidak sampai 30 persen, masa kemudian kursi diberikan kepada yang nomor urut 1 yang padahal perolehan suaranya jauh lebih sedikit. Kan itu namanya tidak adil dan tidak menghargai pilihan masyarakat,” tukasnya.
Hadar menambahkan, keputusan MK merugikan partai politik atau tidak tergantung bagaimana kita menempatkan posisi parpol.
“Ya, kalau memang kita berasumsi bahwa parpolah yang harus menentukan siapa yang akan terpilih. Tetapi bisa juga tidak kalau kita memahami dan juga parpol menempatkan dirinya terhadap caleg,” terangnya.
Siapapun caleg yang terpilih dan dari berapapun nomor urutnya, lanjut Hadar, merupakan caleg yang diusung parpol karena caleg adalah bagian yang tidak terpisahkan dari parpol.
“Seharusnya mereka bangga, bahwa caleg yang terpilih berdasarkan suara terbanyak, adalah caleg yang mereka usulkan dan didukung oleh sebagian besar pemilih,” pungkasnya.
Source : okezone.com