Home > Education > Political Marketing > Qanun Wali Nanggroe

ISU pro dan kontra urusan raqan Wali Nanggroe menimbulkan polemik di dalam masyarakat Aceh dewasa ini. Hal ini kita takutkan akan menjadi pertumpahan darah sesama bangsa Aceh akibat dari fanatik mempertahankan pendapat dan golongan masing-masing. Yang saya sesalkan banyak orang Aceh yang tidak tahu menahu ikut terkorban hanya karena fanatik dan ikut-ikutan tanpa mengetahui latar belakang politik GAM sampai saat ini. Beberapa senior pejuang AM (Atjeh Merdeka) meminta saya untuk membuat ulasan tentang sepak terjang sejarah perjuangan AM, berhubung dengan  banyaknya orang-orang tua GAM yang telah berpulang kerahmatullah dan hanya tinggal beberapa orang yang masih hidup.

Sebelum mempersoalkan kedudukan Wali Nanggroe, saya rasa rakyat Aceh perlu mengetahui latar belakang sejarah perjuangan bangsa Aceh dalam mempertahankan marwahnya sebagai satu bangsa di  Aceh di ujung Pulau Sumatra.  Sejarah ini saya ceritakan berdasarkan dari pengalaman saya sendiri yang telah mengikuti perjuangan GAM sejak dari semula sampai sekarang, tidak pernah berhenti: mulai dari pergerakan dibawah tanah yang kami mulai di Medan bersama-sama dengan Dr. Mukhtar Y. Hasbi,  Ir. T. Asnawi  dan Tgk. Amir Ishak, jauh sebelum Proklamasi 4 Desember. 1976, malah jauh sebelum Tgk. Hasan di Tiro kembali ke Aceh.

Sebagai patokan untuk sejarah AM masa kini dimulai sejak Tgk. Daud di Beureu-eh pergi berobat keluar negeri di tahun 1974. Tentu sebelum Abu Beureu-eh berangkat keluar negeri telah bermusyawarah dengan orang-orang tua Aceh yang masih setia dengan perjuangan, antara lain: Tgk. Umar di Tiro, Tgk. Muhammad Zainul Abidin dan beberapa pengikut setia DII, TII Aceh. Salah seorang sahabat saya, Dr. Ishak Abbas ikut mengawal Abu sebagai doktor pribadi beliau. Program yang dibuat oleh Tgk. Daud di Beureu-eh pada saat itu antara lain adalah menjumpai Tgk. Hasan Muhammad di Tiro dan memberi tugas kepada beliau untuk urusan pembelian senjata dan membawa pulang perlengkapan angkatan perang tersebut ke Aceh.  Fakta sejarah ini membuktikan bahwa Prang AM ini adalah sambungan dari Prang Darul Islam, cuma sifatnya tidak lagi Indonesia di belakangnya tetapi Aceh berdiri sendiri di luar Indonesia, karena Tgk. Daud di Beureu-eh  telah memproklamirkan RIA (Republik Islam Aceh) pada akhir perjuangan DII, tahun 1961.

Yang penting kita ketahui bahwa kesalahan pemimpin Aceh ditahun 1945 telah diperbaiki kembali oleh Tgk. Daud di Beureu-eh dengan memproklamirkan Aceh kembali merdeka dan berdaulat atas Aceh seperti masa sebelum Belanda datang memerangi Aceh 26 Maret 1873. Bedanya kalau di masa awal Prang Aceh-Belanda masih ada Raja atau wakil Raja yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan dan pimpinan angkatan Prang, tetapi pada akhir prang Aceh Belanda, yang tinggal tetap berjuang melawan penjajahan Belanda adalah dari golongan ulama dan rakyat. Sebagai Republik, Aceh adalah milik bersama rakyat Aceh.

Sekembalinya Tgk. Hasan M. di Tiro, dan memproklamirkan Atjèh Meurdéhka pada 4 December 1976, tidak dijelaskan bentuk sistem pemerintahan di Aceh pada saat itu. Kami para menteri AM pada waktu kuliah di University Gunong Halimon, bertanya pada beliau apa bentuk pemerintahan AM. Beliau menjawab dan menerangkan semua bentuk-bentuk sistem pemerintahan yang ada di atas dunia; monarki (bentuk kerajaan), teokrasi (bentuk agama), demokrasi (bentuk republik), dll. Beliau selanjutnya menerangkan kepada kami sejumlah kelebihan dan kekurangan daripada sistem bentuk-bentuk pemerintahan tersebut. Pada saat proklamasi 4 Desember 1976 belum kita tetapkan apakah bentuk dari pada sistem pemerintahan AM; Tgk. Hasan di Tiro sebagai Wali Neugara, sebagai pucuk pimpinan Angkatan Perang Atjèh Meurdéhka dan Kepala Negara menyerahkan kepada rakyat Aceh untuk menentukan bentuk sistem pemerintahannya bila sudah merdeka dan kedaulatan Aceh sudah berada di tangan kita, bangsa Aceh. Dengan demikian, kedaulatan bangsa Aceh otomatis berada ditangan rakyat Aceh. Tengku Hasan M. di Tiro sendiri menuliskan lakap dirinya sebagai Tengku dan akhirnya sebagai Tengku Tjhik atau Panglima Tjhik, dan tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuanku.

Kedudukan wali negara adalah sebagai wali bangsa Aceh, diambil dari dasar agama Islam sebagai agama dan cara hidup orang Aceh. Dalam satu keluarga perlu ada seorang wali, penanggung jawab yang berdiri di depan untuk menjawab soal-soal hidup-mati satu keluarga, satu bangsa. Terlebih-lebih lagi dalam soal darurat, seperti kedudukan bangsa Aceh sekarang, setelah sekian lama berperang melawan Belanda dan kehilangan begitu banyak walinya dan pemimpin-pemimpinnya. Saat ini kita perlu seorang wali, seorang pemimpin untuk memimpin perjuangan dan mengatur barisan supaya perjuangan kebangsaan ini terarah dan tidak kacau balau ketika menghadapi musuh yang sama yaitu NKRI. Menegakkan kembali kedaulatan bangsa Aceh dan membebaskan bangsa Aceh dari belenggu penjajahan NKRI dan membangun Aceh.

Semasa saya bersama dengan PYM WN Tgk. Hasan M. di Tiro, kami tidak pernah memisahkan Perjuangan GAM dari perjuangan Rakyat Aceh. Motto kami adalah ‘perjuangan dari rakyat dan untuk rakyat’. Diawal-awal tahun 1976-1979, kami semua para menteri kabinet turun ke kampung-kampung dan berjuang bersama rakyat, duduk bersama rakyat, dalam segala lapisan masyarakat, termasuk ulama dan menggerakkan mahasiswa dan pemuda, yang kesemuanya menjadi anggota angkatan tentera AM. Kita tidak pernah memisahkan diri kita dari rakyat. Rakyat di kampung-kampung yang kami lalui di seluruh Aceh, dimana-mana benar-benar merasakan bahwa kami adalah anak rakyat, bahagian dari mereka yang mengorbankan diri dan karir kami untuk mereka, untuk kelanjutan bangsa dan Negara Aceh. Demikian yang dilakukan oleh Asysyahid Dr. Tgk. Mokhtar Yahya Hasbi di Wilayah Pase; asysyahid Tengku Haji Ilyas Leube dari Lingge, Takengon; asysyahid Dr. Zubir Mahmud di Wilayah Peureulak, assyahid Nek ‘Un di Wilajah Teumiëng, asysyahid Tgk. Idris Ahmad di Wilajah Batèë Iliëk; asysyahid Tgk. Ibrahim Abdullah di Wilayah Glumpang Minjeuk; asysyahid Tgk. Abdullah Shafii di Wilayah Pidië dan Tgk. Bataqiah di Meulaboh, semuanya berjuang untuk rakyat Aceh, demi bangsa Aceh.

Gerak langkah GAM dibawah pimpinan Malik Mahmud (MM) sangat jauh berbeda dengan GAM yang kami pimpin pada permulaannya. Meskipun nama MM telah dicantumkan sebagai Menteri Negara  di tahun 1976, tetapi yang membuat MM berpengaruh di dalam GAM  dimulai ditahun 1987, di saat ia mendapat tugas untuk me-rekrut anak-anak muda dari Aceh dan dari Malaysia untuk dilatih di Libya dan dari Libya dipulangkan ke Aceh. Semua mereka ini sebelum pulang ke Aceh juga harus melalui MM.  Semua pemuda latihan Libya hanya mengenal MM sebagai pemimpin AM, tidak tahu menahu seluk beluk ideologi AM apatah lagi sejarah Pra AM. Tidaklah heran kalau garis perjuangan TNA dibawah MM berbeda daripada dari tujuan semula. Secara garis besarnya GAM MM memisahkan diri dari rakyat. Mereka menunjukkan dirinya sebagai penguasa dan mendikte rakyat. Siapa yang membangkang langsung ditindak. Hanya ada dua pilihan, yaitu: jalankan perintah atau bayar pajak yang ditetapkan atau anakmu yatim, kehilangan bapaknya. Bukan saja kepada rakyat, bahkan kepada rekan seperjuangan yang berlainan pendapat langsung digeser, difitnah dan tidak sedikit yang dihukum mati. Contoh rekan seperjuangan yang saya maksud: T. Don Zulfahri, Tgk. Haji Usman, Tgk. Abdul Wahab, Tgk. Abdullah Shafii dll. Gurèë Rahman difitnah dan diperangkap hingga dimasukkan ke dalam penjara Malaysia. Tgk. Daud Husin difitnah dan dicopot dari jabatannya serta diperintah bunuh. Besar dugaan pembunuhan Djafar Siddik SH, Prof. Safwan Idris, dan Prof. Dr. Dayan Daud pun ada sangkut-pautnya dengan perebutan kuasa dikalangan masyarakat Aceh dan dalam usaha pembersihan lawan politik MM.

Sangat disayangkan, Tgk. Hasan diserang penyakit Stroke ditahun 1997 dan MM berusaha menutup-nutupi keadaan WN agar dia dapat menggunakan bayangan WN untuk menutupi gerak langkahnya sendiri, sebelum ia yakin bahwa massa rakyat Aceh telah dapat dipegangnya, untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa semua ulah dan tingkah lakunya berdasarkan atas perintah WN.

Sifat pemerintahan GAM MM yang berbau mafia ini terlihat jelas di dalam Perundingan HDC pertama atau pada Pra HDC di Geneva. Direktur HDC, Martin Griffith dan sekretarisnya Dr. Louiza datang ke Stockholm menjumpai saya dan kawan-kawan sehubungan dengan pembahasan kemungkinan untuk menyelesaikan konflik Aceh-RI di meja perundingan. Dalam kesempatan ini saya meminta kepada HDC supaya tim Aceh dipersatukan dahulu secara terpisah sebelum bertemu dengan utusan dari RI. Maksud saya menggunakan kesempatan yang sangat baik untuk mempersatukan semua golongan dari aktivis Aceh dengan GAM dari dalam dan luar negeri. Saya menyatakan kepada Martin Griffith dan Louiza untuk memanggil lima orang Aceh dari dalam Negeri untuk datang ke Jeneva, antara lain: Sdr. Nazar sebagai wakil mahasiswa dan SIRA; Tengku Ibrahim Panton mewakili Ulama; Otto Syamsuddin Ishak, wakil NGO, Prof. Abdullah Ali dll. Lagi. Saya juga menelepon kepada Sdr. Hasballah MS yang pada waktu itu menjabat Menteri HAM, supaya memberi fasilitas (uang dan passport) kepada orang-orang yang tersebut diatas agar mereka semua dapat datang mengikuti  perundingan di Jeneva. Saya juga meminta kepada HDC agar diberi satu hari untuk kami sendiri dapat berjumpa untuk merekonsiliasi dan sama-sama mengatur strategi dalam menghadapi NKRI. Saya meminta kepada HDC untuk mempertemukan kami dengan pihak MM serta dihadiri juga oleh wakil-wakil dari Aceh tersebut. Tetapi malang, apa yang terjadi adalah semua rancana saya itu dibatalkan oleh MM. Dr. Louiza menceriterakan kepada saya bahwa MM menolak bertemu dengan kami dan wakil-wakil dari Aceh seperti yang saya usulkan diatas. Ia hanya mau bertemu dengan Wakil NKRI dihari Kamis dan kami bertemu dengan NKRI pada hari Jumat. Dan yang paling ironis lagi, pada hari Jumat tersebut Dr. Louiza membisikkan kepada saya bahwa MM baru saja meneleponnya dan mengancam supaya kami tidak di-ikut sertakan dalam perundingan-perundingan selanjutnya.

Perlu saya tambahkan sedikit lagi bahwa rekonsiliasi yang saya usahakan diatas adalah rekonsiliasi ke II yang saya usahakan dengan bantuan teman-teman seperjuangan yang cinta kepada perdamaian dan persatuan bangsa Aceh dan tidak ingin pertumpahan darah sesama bangsa. Rekonsiliasi pertama yang kami usahakan adalah dengan bantuan IFA, USA. Dalam rapat IFA di Washington tahun 1999 yang dihadiri juga oleh wakil-wakil dari Aceh oleh Prof. Dr. Abdullah Ali, Ir. Ibrahim Abdullah,  Sdr. Ghazali Abbas, dan beberapa aktivis; disitu kami memutuskan untuk mengirim delegasi penengah untuk menjumpai MM melalui M.Nur Juli di Singapura untuk mengadakan rekonsiliasi mendamaikan perpecahan dikalangan GAM. Team delegasi penengah yang dikirim untuk menjumpai MM waktu itu diketuai oleh Sdr. Asjsjahid Jafar Siddik SH dengan dua orang anggota Sdr. Ir. Ibrahim Abdullah dan Sdr. Adam Djuli. Ternyata tim pendamai ini gagal dan ditolak oleh MM, dan yang sangat sedih bagi kita Sdr. Jafar Siddik sendiri didapati terbunuh dengan sangat sadis dan misterius.

Demikianlah serba singkat pengalaman saya bersama ‘Wali Nanggroe Atjèh’ yang telah beberapa kali membatalkan usaha kami untuk mengadakan rekonsiliasi dan pemersatu semua grup aktivis dan pejuang kemerdekaan Aceh untuk sama-sama memikirkan kelanjutan nasib bangsa. Bagi saya tidak ada gunanya kita memperdebatkan kedudukan Wali Nanggroe pada saat ini. Wali Nanggroe apa? Nanggroe kita belum ada. Wali Nanggroe dari Provinsi Aceh of the Republic of Indonesia? Jangankan kedudukan Wali Nanggroe, kedudukan Sultan pun kalau dibawah NKRI tidak ada harganya. Lihat Sultan Deli, di Istana Maimun.  Beliau tidak mempunyai kekuasaan apa-apa sekarang! Yang penting perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Aceh yang kini telah diselewengkan kedalam NKRI menjadi Propinsi NKRI harus dikembalikan ke tujuan semula. Atjèh harus merdeka sebagaimana sebelum kolonial Belanda datang. Indonesia yang menggantikan kolonial Belanda harus keluar dari Aceh. Proklamasi 4 Desember 1976 yang telah dikhianati. hak menentukan nasib diri sendiri bangsa Aceh inilah yang harus kita tuntut, sampai kapanpun, kalau perlu sampai dunia kiamat bersambung-sambung, turun-teumurun sampai ke anak cucu, Insya Allah.[]

Penulis; Dr Husaini Hasan, Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976.

Source: Harian Aceh

You may also like
Demokrat, PNA dan PAN Dikabarkan Usung Irwandi dan Nova Iriansyah
A Fork in the Road for Aceh
Pentingnya Posisi Aceh dalam Politik Nasional
Scenarios for Aceh’s turning point

Leave a Reply