Makassar, Kompas – Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P Pramono Anung mengakui, Rapat Kerja Nasional III PDI-P di Makassar sejauh ini mencuatkan gagasan untuk memilih figur dari kalangan gubernur sebagai calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2009. Ada tiga nama yang dinilai layak untuk disandingkan dengan Ketua Umum PDI-P, yakni gubernur dari kawasan Sulawesi, Jawa, dan Sumatera.
Namun, dalam jumpa pers di sela-sela rapat kerja nasional (rakernas) itu, Rabu (28/5), Pramono menolak menyebutkan nama ketiga gubernur yang dinilai layak mendampingi Megawati.
”Yang pasti, ketiga gubernur itu memenuhi syarat sebagai pendamping, masih fresh dan memiliki prestasi yang baik di masyarakat,¨ katanya. PDI-P telah menetapkan Megawati sebagai calon presiden pada Pemilu 2009.
Soal apakah gubernur itu kader partainya, Pramono menjawab, ”Bu Mega identik dengan pemilih PDI-P. Karena itu, dicari calon yang berasal dari luar PDI-P.¨
Menurut dia, tiga gubernur yang diincar itu menggenapi 17 calon lain yang ditimang-timang PDI-P. Namun, siapa yang mendampingi Mega pada Pemilihan Presiden 2009 baru ditentukan dalam Rakernas IV, Oktober.
Gelar adat
Di sela-sela Rakernas PDI-P, Megawati mengunjungi sejumlah kantong suara partainya di Sulawesi Selatan, Rabu. Di Palopo ia menerima gelar adat dari Kadatuan Luwu. Di Palopo dan Tana Toraja ia disambut ribuan pendukungnya. Ketua Umum PDI-P itu juga berkunjung ke Gowa.
Kunjungan itu disebut Silaturahim Mbak Mega Bersama Rakyat. Megawati menyatakan, kunjungan itu untuk melihat kondisi rakyat setelah ia tak memerintah selama empat tahun terakhir.
Di Palopo ia menerima gelar adat We Tenri Tappu’ Rumpa’ Lipue, yang berarti pelopor kebangkitan negeri. Pemberian gelar itu diawali dengan prosesi Lellung, yaitu penjemputan di gerbang istana Kadatuan Luwu dengan kain lellung. Kain persegi empat berhiaskan bordir benang emas aneka motif itu dibentangkan memayungi Megawati.
Megawati lalu disambut dengan tarian Pa’duppa, tarian penjemput tamu kehormatan kadatuan dan menjalani prosesi Ripattuddu Umpasikati (sumpah pemimpin yang bertanggung jawab pada masa kini dan masa yang akan datang).
Dalam prosesi Riwata Lowolo, Megawati memegang gelang emas yang diikat dengan kain dan ditarik memasuki istana Kadatuan Luwu oleh Sanro Pa’duppa Kadatuan Luwu, Kasmawati. Di istana, Opu Cenning Kadatoan Luwu, Andi Sitti Husaima Opu Tenri Pajung, memakaikan sarung cora lebba—sarung sutra bermotif khas Luwu—kepada Megawati. Prosesi itu disaksikan Datu (Raja) Luwu Andi Luwu Opu Daenna Patiware.
Opu Cenning Kadatoan Luwu lalu memakaikan baju bodo, baju khas Kadatuan Luwu, kepada Megawati. Megawati menerima ikat lengan yang biasa disebut jama’ta’ya. Prosesi diakhiri dengan pelaporan pemberian gelar itu kepada Datu Luwu, disampaikan Andi Syaifuddin Kaddiradja Maddika Bua.
Andi Adnan Baso Urung, Kepala Seksi Adat Istiadat Dinas Pariwisata Kota Palopo, menjelaskan, prosesi itu diberikan kepada Megawati karena dianggap raja dari negeri lain. ”Selain Ibu Megawati, tokoh nasional lain yang pernah menerima gelar adat dari Kadatuan Luwu adalah Amien Rais,” katanya.
Di Palopo, Megawati juga menerima penjelasan dari Wali Kota Palopo HPA Tanriadjeng mengenai aspirasi pembentukan Provinsi Luwu Raya. Yang diusulkan digabungkan menjadi provinsi baru itu adalah Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo. (nar/row)
Tulisan ini dikutip dari Kompas Cetak Online, 29 Mei 2008