Home > Education > Political Marketing > REVISI UU PEMILU: Menanti Kompromi Ambang Batas Parlemen

REVISI UU PEMILU: Menanti Kompromi Ambang Batas Parlemen

Suatu malam pada awal tahun 2008, pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD masih alot. Dalam salah satu kesempatan berlangsungnya lobi antara pemimpin partai politik dan pemerintah yang difasilitasi oleh Panitia Khusus RUU Pemilu, seorang petinggi salah satu parpol keluar dari ruangan hotel menuju toilet.

Politisi itu sempat membisikkan, besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) sudah disepakati (sekalipun tidak secara bulat). Besarannya 2,5 persen suara sah hasil pemilu anggota DPR. Alasannya? Setengah bercanda, politisi tersebut menjawab sembari tertawa, ”Kan, zakat juga segitu (2,5 persen), biar sama.”

Pembahasan RUU (yang kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 10 Tahun 2008) tersebut memang sedang dikejar tenggat karena agenda pelaksanaan Pemilu 2009 semakin dekat. Ketentuan mengenai PT merupakan salah satu materi yang diperdebatkan secara keras oleh perwakilan parpol.

Pertemuan malam itu menjadi saat mendekati ujung dari rangkaian tarik-menarik antara parpol ”besar” dan parpol kelas ”menengah-sedang berkembang” mengenai perlu tidaknya aturan PT dan (jika disepakati perlu ada) mengenai besaran persentase PT. Blok parpol besar tentu menginginkan PT yang lebih besar, atas nama penyederhanaan sistem kepartaian.

Bahkan, pada akhir-akhir pembahasan, besaran persentase PT masih sulit dipersatukan. Besaran PT yang dimaui oleh perwakilan parpol masih berkisar pada 2 atau 3 persen.

Dalam percakapan dengan politisi sebuah parpol besar, saat itu memang ada kekhawatiran bahwa pemunculan wacana mengenai PT akan menciptakan kemarahan publik dari parpol-parpol kecil. Terlebih ketika penerapan PT akan memastikan bahwa parpol yang total perolehan suara nasionalnya tidak mencapai persentase tertentu tidak akan bisa mendudukkan wakilnya di DPR, bahkan sekalipun parpol bersangkutan memenangi pemilu di sebuah daerah pemilihan! Ekstremnya: tidak ada lagi tempat bagi parpol ”semi-lokal” yang hanya punya basis di wilayah tertentu saja.

Naik?
Kini, pada saat UU Pemilu bakal kembali direvisi, soal besaran PT sudah kembali diperdebatkan. Keinginan penciutan jumlah parpol di parlemen kembali dikedepankan. Pola ”adu-kuat” sudah mulai terlihat. Parpol yang kini menempati banyak kursi di DPR sudah mulai memunculkan besaran persentase yang tinggi, antara lain sampai 5 persen total suara sah nasional. Sementara parpol kelas menengah (mengacu pada perolehan suara pada Pemilu 2004) mencoba lebih realistis: kalaupun PT dinaikkan, jangan terlalu jauh dari 2,5 persen seperti yang diterapkan pada Pemilu 2009.

Jamaknya dalam pembahasan sebuah RUU, setiap pasal ”dikaitkan” (dinegosiasikan?) dengan ketentuan pada pasal yang lain (untuk tidak menyebutnya sebagai ”barter”). Akhirnya, senantiasa ada ketentuan-melunak yang biasanya dimasukkan dalam ketentuan peralihan.

Misalnya, pada Pemilu 2004, parpol yang tidak mencapai batasan perolehan kursi DPR/DPRD tertentu (electoral threshold/ET) dinyatakan tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya. Hanya saja, ada ketentuan (kompromistis?) bahwa parpol seperti itu tetap bisa mengikuti pemilu berikutnya, antara lain, jika mereka mengubah nama.
Dalam Pemilu 2009, ketentuan PT diterapkan dengan memberikan ”kompensasi” bahwa sekali parpol dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, parpol bersangkutan tetap bisa mengikuti pemilu sampai kapan pun. Pasal itu dilandasi kesadaran bahwa siapa pun (dengan persyaratan tertentu) boleh mengikuti pemilu, tetapi tetap ada syarat ketat untuk mereka agar bisa mengirimkan wakilnya di parlemen. Ketentuan PT juga masih berlaku untuk tingkat DPR saja, belum diterapkan untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Sebagai ”kompensasi” jangka pendek, parpol peserta Pemilu 2004 yang sudah memiliki wakil di DPR 2004-2009 bisa langsung ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009, sekalipun semestinya mereka harus ”bersalin jubah” dan mengikuti verifikasi lagi jika merujuk ketentuan ET pada UU No 12/2003 yang diberlakukan untuk Pemilu 2004. Alhasil, 16 parpol di DPR bisa langsung ikut Pemilu 2009. Padahal, jika merujuk secara ketat ketentuan UU No 12/2003, mestinya hanya tujuh parpol yang memenuhi ET dan bisa langsung ikut Pemilu 2009.

Dengan peta komposisi parlemen seperti saat ini, andaikan Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bersepakat memaksakan PT tinggi, niscaya pengambilan keputusan lewat suara terbanyak bisa mereka menangi. Ketiga parpol tersebut total mengisi sekitar 62 persen kursi DPR 2009-2014. Namun, jika kecenderungan berpolitik dengan jalan ”musyawarah” yang bakal dikemukakan, bisa jadi akan terjadi ”kesepakatan-lonjong” yang bisa diketok di paripurna tanpa harus ada voting.

Kompromi (dan akhirnya bisa berujung pada ”pemberian-kompensasi”) menjadi kunci penyelesaian perdebatan. Masalahnya, sekali lagi, jika nanti parpol besar ngotot mendorong penerapan besaran PT yang tinggi, apa lagi ”kompensasi” yang akan diperoleh parpol kelas menengah (dan lebih-lebih parpol yang kini berada di luar parlemen)?

Sidik Pramono

Source : Kompas Online, 14 September 2010

You may also like
Survei: Banyak Masyarakat Belum Tahu Pemilu 2019 Serentak
Revisi UU Diminta Fokus Hal Substansial
Kapasitas Bawaslu Perlu Ditingkatkan: Lakukan Politik Uang, Calon Bisa Didiskualifikasi
Mempertimbangkan Political Marketing

Leave a Reply