Kehadiran Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di tengah ”lautan” kader Partai Golkar saat peringatan Hari Ulang Tahun Ke-58 Golkar, di Jakarta, Jumat (21/10/2022) malam, menjadi sorotan. Mengenakan baju batik yang didominasi warna kuning, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto menyapanya khusus selain tamu-tamu penting lain yang hadir, salah satunya Presiden Joko Widodo.
”Masih ada yang masih pakai batik Pak, nuansanya kuning Pak Presiden. Ini namanya Pak Ridwan Kamil, Pak,” kata Airlangga di awal pidatonya yang disambut tepuk tangan dan sorak-sorai kader.
Momen ini bukan pertama kalinya bagi pria yang akrab disapa Kang Emil itu membangun komunikasi dengan partai politik (parpol). Memanfaatkan momen Lebaran, Mei lalu, misalnya, ia juga bersilaturahmi ke sejumlah petinggi parpol. Bersamaan dengan itu, Kamil mengoptimalkan kerja sebagai Gubernur Jawa Barat dan menyosialisasikannya melalui media sosial.
Hal tersebut menuai simpati publik hingga berbuah elektabilitas. Hasil survei Kompas periode Oktober 2022 menunjukkan lonjakan elektabilitas Kamil, menjadi 8,5 persen dari 3,4 persen hasil survei Juni lalu. Ia pun menempati peringkat ke-4 elektabilitas tertinggi di bawah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (23,2 persen), Ketua Umum Gerindra yang juga bakal capres Gerindra Prabowo Subianto (17,6 persen), dan bakal capres Nasdem, Anies Baswedan (16,5 persen).
Selisih Kamil memang masih terpaut jauh dengan Anies di peringkat ketiga. Namun, di antara para figur potensial bakal calon wakil presiden (cawapres) yang dipilih publik, Kamil menempati peringkat pertama.
Tren positif elektabilitasnya sebagai capres ataupun cawapres ini sudah lama memantik parpol untuk meminang Kamil bergabung. Terlebih, sejak akhir tahun lalu, intensinya bergabung ke parpol pun kerap dikemukakan.
”Saya tetap konsisten menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan parpol, apalagi dengan semakin beratnya situasi global tahun depan, kita perlu sinergi dan kolaborasi dengan semua elemen bangsa, juga dengan parpol,” kata Kamil dalam wawancara tertulis dengan Kompas.
Ia mempertimbangkan masuk parpol dengan tujuan agar berperan lebih luas membangun bangsa. Termasuk memperbesar peluangnya diusung parpol dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, ia menyerahkan keputusan pada parpol. ”Saat ini, saya fokus bekerja saja sebagai gubernur. Dengan bekerja yang baik dan kinerja baik, masyarakat yang menilai dan merasakan hasilnya. Soal elektoral akan mengiringi, dan parpol tentu akan menilai dan bisa melihat dari rekam jejak yang ada,” jelasnya.
Yang jelas, ketika mandat sebagai capres atau cawapres diberikan, ia mengaku siap. ”Mandat menjadi capres atau cawapres itu suatu kepercayaan dan amanah yang mulia. Sebagai warga negara yang baik, kita harus siap ketika diberi mandat untuk memimpin bangsa ini, untuk membawa perubahan, kemajuan, dan kesejahteraan bagi rakyat,” tutur Kamil.
Selain Ridwan Kamil, elektabilitas Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno juga melambung, terutama sebagai figur bakal cawapres. Sebagai capres, ia hanya meraup elektabilitas 2,5 persen atau berada di peringkat ke-5. Sementara sebagai cawapres, elektabilitasnya mencapai 10,6 persen atau berada di peringkat kedua.
Mirip dengan Kamil, Sandiaga juga intens menampilkan kerja-kerjanya sebagai menteri di media sosial. Kader Partai Gerindra yang maju mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2019 ini juga piawai memikat simpati publik dengan gayanya yang luwes, humoris, dan komunikatif.
”Saya berterima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan masyarakat (sebagai capres atau cawapres), tapi semua kembali kepada partai politik sebagai pemegang otoritas, jadi semua keputusan ada di tangan partai politik,” ujarnya menjawab wawancara tertulis Kompas.
Ia mengelak jika disebut secara khusus mengejar elektabilitas, apalagi tiket pencalonan presiden atau wapres ada di parpol. Baginya, apa yang dilakukan selama ini adalah upaya menjalankan mandat Presiden dan Prabowo Subianto, yakni memulihkan kembali sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Namun, jika kelak parpol meminangnya untuk menjadi capres atau cawapres, ia menyatakan siap. ”Sebagai anak bangsa, kita harus siap dan mampu memberikan semua hal terbaik yang kita miliki untuk bangsa dan negara. Tapi kembali lagi, semua keputusan ada di tangan partai politik,” ucapnya.
Saat ditanya mengenai kesediaannya keluar dari Gerindra jika diusung parpol lain, Sandiaga menyatakan bahwa Gerindra adalah parpol yang telah membesarkannya. ”Saya sampai pada titik ini karena Partai Gerindra. Karena itu, saya menghormati keputusan partai yang telah memilih Bapak Ketua Umum Prabowo Subianto sebagai capres untuk maju dalam Pilpres 2024,” ucapnya.
Figur lain
Di luar Kamil dan Sandiaga, survei menunjukkan sejumlah figur lain yang dipilih publik sebagai cawapres, yakni Anies Baswedan (9,3 persen), Ganjar Pranowo (7,3 persen), dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (6,6 persen).
Figur lainnya yang memiliki elektabilitas di bawah 5 persen antara lain Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Ketua DPR Puan Maharani, dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Pilihan masyarakat terhadap para figur ini ternyata juga telah masuk dalam radar sejumlah parpol.
Wakil Ketua Umum Gerindra Budisatrio Djiwandono, misalnya, mengatakan, angka elektabilitas figur cawapres yang terekam dalam hasil survei sejumlah lembaga, menjadi salah satu pertimbangan dalam mencari pendamping Prabowo. Pertimbangan lain, figur tersebut haruslah bisa menutupi kelemahan Prabowo, terutama dari sisi penguasaan wilayah. Tak kalah penting, saat ini, Gerindra terikat kerja sama dengan Partai Kebangkitan Bangsa.
”Sesuai dengan perjanjian itu, capres dan cawapres koalisi ini kan ditentukan bersama-sama oleh Prabowo dan Muhaimin,” jelasnya.
Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya juga menyampaikan, sejumlah figur tersebut masuk dalam radar sebagai pendamping Anies Baswedan. ”Kans mereka sama besarnya,” ujarnya.
Senada dengan Gerindra, Nasdem pun tak menjadikan elektabilitas sebagai satu-satunya faktor penentu. Yang juga penting, harus ada kecocokan di antara pasangan selain faktor lain, seperti kesamaan visi, faktor representasi, dan faktor penerimaan publik terhadap pasangan. Kecocokan dan kesamaan visi terutama penting jika kelak pasangan itu terpilih agar bisa bekerja sama untuk mewujudkan visi yang ada.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang di dalamnya PAN, Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan hingga kini belum mendiskusikan soal sosok yang akan diusung sebagai capres, termasuk juga cawapres.
Namun, dengan melihat belum adanya kandidat capres yang elektabilitasnya dominan, menurut Viva, penentuan cawapres nanti, biasanya akan berpatokan pada dua hal. Pertama, basis sosial yang bersifat ideologis. Biasanya, dari perspektif ini, dikategorikan ke figur nasionalis dan figur religius. Kedua, figur yang bisa mengerek elektabilitas. Dengan pendekatan ini, biasanya dimasukkan ke dalam kategori penilaian, misalnya Jawa atau non-Jawa.
Persaingan ketat 2024
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya berpandangan pemilihan figur cawapres saat ini menjadi jauh lebih krusial karena selisih elektabilitas antara ketiga figur kuat potensial capres yang tak terpaut jauh.
”Putaran kedua pilpres (terjadi jika tidak ada capres-cawapres yang meraup lebih dari 50 persen suara) pun akan mungkin terjadi sehingga variabel cawapres sebagai dongkrak elektoral sebagai variabel komplementer itu sangat dibutuhkan. Nah, itu yang menurut saya menyebabkan akan sangat penting penentuan sosok cawapres dalam pertarungan yang kita perkirakan akan sangat ketat di 2024,” ujar Yunarto.
Sebagai variabel komplementer, figur cawapres yang dipilih tentunya harus menutupi kelemahan dari sisi elektoral capresnya. Ganjar, misalnya, jika memang diajukan parpol untuk maju dalam Pilpres 2024, membutuhkan sosok cawapres yang bisa menutupi kekurangan secara elektoral Ganjar, di daerah Sumatera dan Kalimantan.
Adapun Anies, membutuhkan sosok untuk bisa memecah suara Ganjar di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Begitu pun Prabowo juga membutuhkan sosok yang bisa kuat di Jawa Timur, salah satu yang menyebabkan kekalahannya di Pilpres 2019.
Bukan hanya faktor penguasaan wilayah, variabel lain juga dibutuhkan dalam konteks citra diri. Sosok Anies, misalnya, membutuhkan sosok dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu, Prabowo bisa mempertimbangkan berpasangan dengan sosok selain yang memiliki latar belakang NU, tetapi juga perempuan untuk menetralkan karakter kepemimpinannya yang distigmakan impulsif.
Adapun Ganjar, salah satu variabel yang bisa menutupi kekurangannya, selain sosok yang memiliki basis pemilih Islam kuat, juga harus memiliki kompetensi sektoral, seperti kemampuan di bidang ekonomi. Pasalnya, latar belakang Ganjar ialah seorang aktivis, sedangkan tantangan situasi global ke depan masih berkutat di sektor ekonomi.
Oleh karena itu, baik capres potensial, parpol, maupun gabungan parpol, tentu masih akan memperhitungkan faktor-faktor tersebut. Namun, di saat yang sama, faktor tersebut kerap berbenturan dengan ego antar-parpol yang cenderung memaksakan kehendak pihak tertentu. Misalnya, keinginan agar ketua umumnya menjadi cawapres meski tidak memberikan efek elektoral.
”Kalau ego partai-partai ini yang dipaksakan, justru berpotensi akan membuat capresnya menjadi kalah,” tambahnya. (APA)
Editor: ANTONIUS PONCO ANGGOROe
Oleh : NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
Source : Kompas.id