Home > Education > Political Marketing > RUU DIY, Erupsi Baru Setelah Merapi

RUU DIY, Erupsi Baru Setelah Merapi

sultan yogya

INILAH.COM, Jakarta – Ketegangan Jakarta-Yogyakarta mulai muncul ke permukaan terkait RUU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pernyataan Presiden SBY bahwa Indonesia tidak mengenal sistem monarki memantik psy war. Tak ubahnya Merapi, RUU DIY dapat memantik erupsi politik yang tak sederhana.

Rapat terbatas Jumat (26/11/2010) pagi di Kantor Presiden tak ubahnya seperti warning bagi Yogyakarta dari status siaga menjadi awas. Pernyataan Presiden SBY yang menyebutkan bahwa Indonesia tidak mungkin menerapkan sistem monarki karena bertabrakan dengan konstitusi maupun demokrasi berbuntut panjang.

“Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi,” katanya.

Presiden menegaskan, dalam pembahasan RUU DIY pemerintah berpijak pada tiga dasar yakni pilar sistem nasional yaitu negara kesatuan RI sesuai undang-undang. Juga memahami keistimewaan DIY dari sejarah dan aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus. Serta Ketiga, bahwa Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi.

Pernyataan presiden seperti pengumuman peningkatan ‘status’ DI Yogyakarta. Seperti diketahui, RUU DIY ‘mangkrak’ hingga dua periode DPR. Munculnya RUU ini terkait dengan UU No 22 tahun 2009 tentang pemerintah daerah.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku tidak mengerti mengapa pemerintahan di DIY disebut menggunakan sistem monarki. Padahal, DIY sama seperti dengan provinsi lainnya. Menurut dia, jika sekiranya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, Sultan akan mempertimbangkan jabatan gubernur yang dipegangnya saat ini.

“Saya akan mempertimbangkan kembali jabatan Gubernur DIY itu merupakan pernyataan politik saya. Silahkan bagaimana mau menafsirkannya,” kata Sultan yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di DIY, Sabtu (27/11/2010).

Sultan menegaskan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY itu sama dengan provinsi lain di Indonesia, seperti dalam organisasi, manajemen, perencanaan, dan pertanggungjawaban pemerintahan.

“Hal itu sesuai dengan konstitusi baik UUD 1945 maupun peraturan pelaksanaannya. Semuanya sama dengan provinsi lain, tidak ada yang berbeda dengan yang lain,” katanya.

Ia mengatakan, hal itu perlu disampaikan agar rakyat Indonesia, khususnya DIY, tidak memiliki asumsi bahwa pemerintahan di DIY adalah sistem monarki. Selama ini, pemerintahan di DIY sama dengan provinsi lain.”Saya juga tidak mengerti, mengapa disebut monarki. Apa karena Sultan yang menjadi gubernur?” katanya.

Menurut dia, persoalan pemilihan atau penetapan kepala daerah di DIY itu merupakan ranah kepentingan rakyat. Proses pemilihan atau penetapan kepala daerah di DIY itu tergantung rakyat karena yang menentukan mereka.

“Jika bicara demokratisasi itu pengertiannya pemilihan, bagaimana dengan jabatan wali kota Jakarta. Jabatan itu tanpa pemilihan, tetapi tidak ada yang mempermasalahkan, tidak ada yang menyatakan tidak demokratis,” katanya.

Oleh karena itu, Sultan berharap ada dialog publik yang didasari ketulusan dan kejujuran, sehingga masyarakat dapat menjadi subjek dalam demokrasi. “Itu harapan saya, sehingga demokrasi dilihat tidak sekadar pada aspek prosedural mengenai pemilihan atau penetapan,” katanya.

Pernyataan Sultan ini tergolong keras apalagi dibandingkan dengan pernyataan sebelumnya. Pada September lalu, Sultan juga menantang agar dilakukan referendum terkait poin krusial dalam penetapan Kepala Daerah DIY termasuk soal keuangan.

Dalam perkembangannya, seluruh fraksi DPR menyetujui Gubernur DIY dilakukan melalui mekanisme penetapan. Hanya Fraksi Partai Demokrat yang menginginkan pemilihan.

Sementara Menteri Dalam Negeri Fauzi Gamawan menegaskan, pekan depan pemerintah memutuskan nasib RUU DIY. Seteleh keputusan pemerintah, baru RUU DIY dikirim ke DPR untuk dibahas bersama pemerintah.

“Minggu depan akan putuskan dalam sidang kabinet,” katanya, di sela-sela Rapat Kerja Fraksi Demokrat di Jakarta, (27/11/2010). Ia menegaskan dalam RUU DIY pihaknya akan memperhatikan berbagai aspek seperti budaya, keistimewaan, dan konstitusi.

Jika merujuk konstitusi, bentuk pemerintahan di DI Yogyakarta berpijak pada Pasal 18A ayat 1 UUD 1945 yang mengakomodasi kekhususan dan keragaman daerah.

Dalam pasal itu berbunyi “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Melalui ini pula muncullah UU Pemerintahan Aceh termasuk Otsus Papua.

Perbedaan pandangan pemerintah pusat dan pemerintah DI Yogyakarta termasuk partai-partai politik jika tidak dikelola dengan baik ini akan berpotensi pada ketegangan yang tidak sederhana. Alih-alih menciptakan situasi kondusif di Yogyakarta, situasi ini justru menciptakan erupsi baru pasca letusan Merapi beberapa waktu lalu. [mdr]

Source: inilah.com

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Demokrasi “Roller Coaster”
Suara Rakyat, Suara Siapa?
Agenda Reformasi 1998 Dikhianati
Keroposnya Pilar Demokrasi Kita

Leave a Reply