Tarik-menarik soal keanggotaan dalam lembaga penyelenggara pemilihan umum kian alot. Masih menguat dua kutub: satu kubu ingin agar anggota partai politik pun bisa menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, sementara kubu lainnya bersikukuh agar keanggotaan KPU nonpartisan dan tentunya terbebas dari unsur parpol.
Rapat Komisi II DPR pada Rabu (24/11) mengambil keputusan atas sejumlah klausul dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Tujuh fraksi sepakat bahwa semua warga negara, termasuk anggota parpol, dapat mendaftar sebagai anggota KPU dan Bawaslu. Hanya Fraksi Partai Amanat Nasional yang menolak klausul itu karena ingin keanggotaan KPU bebas dari unsur parpol. Fraksi Partai Demokrat yang juga ingin KPU diisi kalangan independen memilih walk out dari rapat sebagai bentuk protes.
Sejumlah elemen masyarakat sipil, Jumat (26/11), menolak keras keputusan tersebut. Kemungkinan masuknya anggota parpol dalam lembaga penyelenggara pemilu membuka peluang sikap tidak netral dan cenderung menguntungkan parpol. Pengalaman buruk Pemilu 1999 sangat mungkin terulang. Pemilu 2014 terancam lebih buruk ketimbang Pemilu 2009.
Namun, pupuskah harapan menjadikan lembaga penyelenggara pemilu terbebas dari unsur parpol?
Peluang masih terbuka dengan merujuk ketentuan konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 20 menyatakan, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hanya saja, terdapat juga ketentuan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
”Kesepakatan” sejauh ini masih terjadi di internal Komisi II DPR (dan bahkan masih butuh waktu untuk menjadikan materi revisi UU No 22/2007 tersebut resmi menjadi RUU dari DPR). Selepas dari DPR, pembahasan masih harus dilaksanakan bersama dengan presiden. Ketentuan UU No 10/2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan, RUU yang telah disiapkan DPR disampaikan kepada presiden.
Selanjutnya, presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat pimpinan DPR diterima. Nantinya, pembahasan RUU di DPR dilakukan DPR bersama presiden atau menteri yang ditugasi.
Dalam berbagai kesempatan saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh pada tahun 2006, Menteri Sekretaris Negara (kala itu) Yusril Ihza Mahendra, yang mewakili Presiden, menyatakan bahwa DPR dan pemerintah masing-masing memiliki ”nilai suara” yang setara dalam pembahasan sebuah RUU.
Konsekuensinya, kesepakatan internal DPR tidak berarti menyelesaikan sebuah klausul dalam RUU yang sedang dibahas jika memang pemerintah tidak sependapat. Dalam beberapa kesempatan saat pembahasan paket undang-undang politik pada tahun 2008, hal serupa juga sempat mengemuka sehingga pembahasan RUU berlangsung panjang.
Akhirnya, jika memang serius dan bersungguh-sungguh atau jika memang presiden berpandangan bahwa lembaga penyelenggara pemilu diisi kalangan nonpartisan dan terbebas dari unsur parpol, peluang itu masih ada dengan memasukkannya dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU dari DPR tersebut. Lewat menteri yang ditugasinya nanti (diperkuat dengan fraksi pemerintah yang sependapat), ”pertarungan” masih bisa dilanjutkan. Hal itu sekaligus bisa menjadi tolok ukur keseriusan sikap Fraksi Partai Demokrat, dengan asumsi merupakan cerminan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sudah disepakati bahwa persiapan Pemilu 2014 paling tidak membutuhkan waktu 2,5 tahun sebelum pemungutan suara pada April 2014. Karena itu, seluruh paket undang-undang bidang politik mestinya tuntas maksimal pada Oktober 2011. Namun, jika pertarungan berlanjut, risikonya pembahasan revisi UU No 22/2007 bakal lebih alot dan memakan waktu lebih lama. Bahkan, bisa saja pembahasan terancam buntu, RUU tidak rampung, dan itu berarti UU No 22/2007 tetap berlaku. Siapa yang diuntungkan jika itu yang terjadi?
Jadi, kembali soalnya adalah pertaruhan antara keterbatasan waktu dan kesempurnaan substansi. Namun, seperti petuah klasik bahwa selalu masih ada waktu dan peluang. Kini semuanya terpulang: apakah benar mau serius atau sekadar ingin mengaburkan keinginan sebenarnya? (Sidik Pramono)
Source: kompas.com