”Era baru” dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, baru menginjak musim kedua. Sepanjang pelaksanaannya, pilkada secara langsung tak pernah sepi masalah. Mulai dari soal konflik elite saat pencalonan hingga rembetannya ke konflik horizontal pascapenetapan pemenang. Bahkan, disharmoni antara kepala daerah dengan wakilnya pun mengemuka sebagai ekses dari pilkada langsung satu paket.
Keinginan untuk memperbaiki pelaksanaan pilkada pun menguat. Salah satunya adalah dengan membuat perangkat peraturan tersendiri, terpisah dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah seperti yang berlaku saat ini. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah bakal ”dipecah”, salah satunya adalah undang-undang yang khusus mengatur soal pemilihan kepala daerah.
Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menyatakan bahwa draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah sudah rampung diharmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Segera setelah disampaikan kepada Presiden, lantas Presiden menyetujuinya, naskah RUU bakal segera disampaikan ke DPR untuk dibahas bersama. Bahkan, Djohermansyah punya target ancar-ancar, yakni UU bisa rampung pada awal 2012.
Menurut Djohermansyah, sejumlah materi perubahan termuat dalam naskah RUU versi pemerintah. Misalnya, pemilihan umum kepala daerah tidak dilakukan dengan sistem paket. Hanya gubernur dan bupati/wali kota sebagai kepala daerah yang dipilih, sementara posisi wakil kepala daerah sebagai pejabat politik dipilih oleh kepala daerah terpilih dari kalangan birokrat yang memenuhi syarat. Gubernur dipilih oleh DPRD provinsi, sementara bupati/wali kota dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana yang berlaku saat ini.
Jabatan gubernur dipilih ”tidak langsung” karena menimbang posisinya yang lebih merupakan wakil pemerintah pusat. Djohermansyah mengutip seorang gubernur, yang mengaku bahwa gubernur hanya 26 persen dari tugasnya sebagai kepala daerah otonom. Kondisi itu tidak imbang dengan biaya besar penyelenggaraan. Sekadar ilustrasi, pemilihan gubernur Jawa Timur beberapa waktu lalu memakan biaya nyaris Rp 1 triliun!
Khusus penghilangan pemilihan satu paket antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, salah satunya didasari pengalaman empiris, salah satunya soal disharmoni. Terlebih ketika kepala daerah dan wakil petahana (incumbent) bakal maju secara terpisah pada pilkada berikutnya. Data Kementerian Dalam Negeri, hanya 22 pasangan kepala daerah petahana yang mencalonkan kembali sebagai pasangan pada masa periode jabatan kedua.
Pro-kontra
Sebelum benar-benar sampai ke DPR, RUU Pilkada memang masih memperpanjang janji pemerintah untuk memperbarui ketentuan pilkada. Namun, dipastikan bahwa materi RUU bakal mengundang perdebatan alot.
Soal penghapusan pemilihan satu paket, misalnya. Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap, politikus Partai Golkar, bahkan berpendapat semestinya jabatan wakil kepala daerah ditiadakan. Sebaliknya, anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berpendapat bahwa pemilihan sebaiknya tetap dalam satu paket: kepala daerah dan wakil adalah jabatan politik. Ketimbang wakil kepala daerah diangkat, lebih baik sekalian saja jabatan itu dihilangkan. ”Beban kerja seorang kepala daerah bisa disesuaikan dengan struktur pemdanya,” kata Malik.
Kepala Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas Padjajaran (Unpad), Indra Perwira, menyebutkan dua alternatif posisi wakil kepala daerah. Jika jabatan wakil kepala daerah ditiadakan, harus dibuat mekanisme mencegah kevakuman manakala kepala daerah berhalangan. Jika jabatan itu tetap ada, wakil kepala daerah difungsikan sebagai koordinator wilayah, seperti wedana. Jumlah wakil tergantung dari jumlah kecamatan. Wakil pun lebih banyak menjalankan fungsi pengawasan.
Dengan asumsi bahwa klausul usul pemerintah disetujui, RUU rampung pertengahan 2012 dan butuh setengah tahun untuk menyelesaikan seluruh aturan pelaksanaannya, bisa jadi pilkada gubernur mulai 2013 sudah benar-benar dilakukan oleh DPRD. Imbas dari cara pemilihan adalah hilangnya calon perseorangan di level gubernur.
”Sehari setelah paripurna DPR, langsung kami ajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Fadjroel Rachman dari Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI).
Pemerintah juga mengintroduksi upaya menekan politik dinasti. Kepala daerah petahana tidak bisa lagi ”mewariskan” kepenguasaannya kepada calon yang memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan langsung lurus ke atas, bawah, dan samping dengannya, kecuali ada selang waktu minimal satu kali masa jabatan.
Namun, Djohermansyah mengakui, batasan itu hanya pada tingkat dan wilayah yang sama. Artinya, ketentuan tersebut tidak akan menjangkau manakala seorang gubernur ”menugaskan” kerabatnya menguasai berbagai kabupaten/kota di provinsi yang dipimpinnya. ”Repotnya, kalau pembatasan ini dianggap melanggar HAM,” kata Djohermansyah.
Syamsuddin Haris juga menyebutkan, perdebatan mengenai RUU Pilkada semestinya diarahkan pada penguatan pemerintahan yang efektif, bukan sekadar bagaimana memilih kepala daerah. Sistem pemilihan tidak ada hubungan dengan efektivitas pemerintahan. Wacana perubahan sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung belum tentu bisa menjadi solusi bagi upaya pembentukan pemerintahan lokal yang efektif.
”Bukan sistem pemilihannya, tetapi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak ada payung hukumnya di konstitusi. Artinya, desain pemerintahan daerah kita memang bermasalah,” kata Haris.
Musim ”pangkas” dalam pilkada akankah tiba?
(Sidik Pramono)
Source : Kompas.com