Home > News > Opinion > Saatnya Membangun Parpol “Berorientasi Pasar”

Saatnya Membangun Parpol “Berorientasi Pasar”

Jakarta – Jika kita amati tren yang berkembang secara mencolok akhir-akhir ini di arena komunikasi politik Indonesia adalah kecenderungan partai politik (parpol) untuk memanfaatkan iklan di media massa dalam rangka menjajakan dagangan politiknya. Kecenderungan ini nampak semakin nyata menjelang masa-masa pemilu atau pilkada.

Tidak heran (atau sungguh mengherankan?) pada masa-masa ini masyarakat secara tiba-tiba disuguhi wajah-wajah dan nama-nama yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Atau profil yang sudah lama tidak terdengar namanya. Hadir melalui spanduk, baliho, poster, pamflet, iklan radio, iklan surat kabar, dan iklan TV.

Seakan ingin memastikan semua lapisan masyarakat tersentuh oleh kampanyenya. Ruang-ruang bioskop pun tak luput dari serbuan iklan profil aktor politik. Bahkan di ruang bioskop yang memutar film anak-anak.

Fenomena ini di satu sisi menunjukkan meningkatnya kesadaran para spin doctor –orang-orang yang berperan membentuk citra positif di balik parpol, akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip marketing dalam aktivitas kampanye mereka. Menurut Wymer dan Lees-Marshment (2005) disebut sebagai political marketing. Pertanyaannya adalah apakah political marketing yang marak diterapkan oleh parpol saat ini akan memberikan dampak positif terhadap partai bersangkutan?

Merujuk pada penerapan marketing di dunia bisnis, di dunia politik yang berperan sebagai penjual atau produsen adalah parpol. Dan, yang disebut pembeli, konsumen atau pasar adalah masyarakat calon pemilih (voters).

Sebagaimana halnya di dunia bisnis idealnya di dunia politik pun marketing bukan semata-mata berupa slogan ataupun kalimat yang memikat untuk menjual produk. Namun, digunakan untuk menjelaskan manfaat produk itu sendiri.

Hal ini berbeda dengan praktik political marketing di Indonesia yang semata-mata menjual ‘produk’ berupa profil aktor politik disertai slogan-slogan. Tanpa menjelaskan manfaat apa yang dapat diberikan oleh parpol atau aktor politik tersebut bagi konsumen. Dalam hal ini masyarakat calon pemilih.

Padahal jika kita berguru kepada dunia bisnis selama ini perusahaan-perusahaan yang sukses umumnya adalah perusahaan yang menerapkan filosofi “market-oriented” atau “berorientasi pasar” yang secara kontinyu mencari tahu kebutuhan konsumen dan berusaha memuaskannya.

Mengacu kepada Bapak Manajemen Modern Peter Drucker, penulis berpendapat jika parpol dapat menciptakan ‘produk’ yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat serta menawarkannya dengan cara yang sesuai, maka kemungkinan besar masyarakat akan tertarik untuk ‘membeli’-nya. Oleh sebab itu parpol idealnya mengadopsi filosofi tersebut dalam melaksanakan kegiatan
kampanyenya.

Salah satu ciri “parpol berorientasi-pasar” antara lain  melakukan intelijen pasar misalnya melalui polling atau survey untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan masyarakat. Terkait hal ini parpol harus meninjau kembali apakah foto raksasa ketua umum partai, slogan-slogan, serta iklan politik –di antaranya bahkan bernada menyerang partai lain, benar-benar merupakan ‘produk’ yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat calon pemilih.

Dengan segudang masalah yang terpampang secara gamblang, mulai dari kenaikan harga-harga, penyakit kronis korupsi, kemiskinan, pengangguran, hingga gedung-gedung sekolah yang nyaris ambruk, penulis cukup yakin bukan itu yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.

Hal penting lain yang harus diperhatikan oleh “parpol berorientasi pasar” adalah memastikan bahwa ‘produk’ yang ditawarkannya terimplementasi secara menyeluruh di seluruh lini organisasi. Mulai dari pucuk pimpinan hingga akar rumput.

Jika parpol memutuskan untuk menawarkan ‘produk’ pemberantasan korupsi,  maka sebelum menawarkannya kepada masyarakat parpol bersangkutan harus memastikan bahwa seluruh lini dalam organisasi bersih dari korupsi. Transparansi pun menjadi isu penting dalam hal ini.

Sebagai contoh, biaya satu kali pemasangan iklan berwarna ukuran satu halaman penuh di harian nasional terkemuka bisa mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini saja sudah bisa menimbulkan pertanyaan dari masyarakat calon pemilih dari mana parpol mendapatkan dana untuk membiayai pemasangan iklan seperti itu.

Apalagi dengan frekuensi yang terhitung tinggi. Oleh karenanya audit oleh pihak berwenang menjadi perlu antara lain untuk membuktikan bahwa tidak ada penyimpangan terkait pengadaan dana tersebut.

Untuk meraih suara pemilih sebanyak-banyaknya pemilihan media dan cara penyampaian yang tepat merupakan hal yang tak kalah penting. Oleh karenanya parpol perlu meninjau kembali apakah media yang dipilih efektif untuk menyampaikan pesan mengenai ‘produk’ yang ditawarkan.

Apakah pemasangan spanduk dan poster tidak membuat masyarakat calon pemilih menjadi antipati karena membuat lingkungan menjadi terlihat tidak rapi, misalnya. Perlu juga dikaji apakah penayangan iklan di TV, koran, dan radio secara terus menerus dengan ukuran yang mencolok menimbulkan simpati dari masyarakat calon pemilih atau malah sebaliknya.

Semua Parpol Dapat Menjadi “Parpol Berorientasi Pasar”. Dengan itikad baik dan sumber daya yang dimiliki semua parpol dapat menjadi “parpol berorientasi pasar”.

Daripada menghamburkan dana untuk membangun citra personal aktor politik yang malah menimbulkan kesan narsistis atau kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri dan pada akhirnya menimbulkan reaksi antipati, akan lebih bijaksana jika parpol memanfaatkan dana tersebut untuk hal-hal yang memberikan faedah nyata bagi masyarakat.

Selain lebih bermanfaat, dengan menerapkan ‘orientasi pasar’ jauh-jauh hari sebelum masa kampanye berarti parpol juga telah menanamkan investasi untuk pemilihan berikutnya.

Hera Laxmi Devi S
Stamkartplein 130 2521 ER Den Haag  Belanda
deardevi@yahoo.com
+31 645 465 716

Source : Detikcom Suara Pembaca

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
SBY dan Anomali Presidensial
Musim ‘Kawin’ Politik
Politik Kaum di Aceh

Leave a Reply