Siapa yang berdiri di tengah panggung harus senantiasa siap jadi pusat sorotan kamera. Rumus ini berlaku bagi siapapun, termasuk Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Bukan sekedar menjadi pusat sorotan kamera, belakangan ini Anas seperti hendak didesak ke pinggir panggung. Berbagai pemberitaan negatif tentangnya ramai mengemuka. Integritasnya tengah dalam ujian.
Anas disangka mengumpulkan modal finansial berskala besar dengan terlalu lekas melalui cara-cara tak patut. Ia diduga tak beda dengan politisi biasa: Tak punya kuda-kuda kuat penahan erosi integritas dan akhirnya mudah terjebak dalam pusaran politik uang.
Saya bukan hakim dan kolom ini bukan vonis. Saya hanya sedang berikhtiar memahami “fenomena Anas” sambil meletakkannya dalam konteks perkembangan politik kita.
Terpilihnya Anas sebagai Ketua Umum dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu, menyeruak sebagai angin basah di tengah musim kering sejarah kepartaian kita.
Semestinya, semakin lama demokrasi berkembang semakin tegas pemosisian (positioning), pembeda (diferensiasi) dan merk (brand) partai-partai. Para calon pemilih pun dibuat semakin mudah menentukan pilihannya.
Tetapi, kemestian itu tak kita temukan dalam hikayat partai politik Indonesia selepas Orde Baru. Semakin lama, partai-partai politik justru semakin tak bisa dibedakan. Umumnya partai mengalami gejala serupa belaka: terjebak personalisasi (identik dengan tokoh-tokoh besar tertentu), pengaburan identitas/karakter dan orientasi politik, dan tak bertekun-tekun membangun konstituen.
Partai Demokrat bukanlah pengecualian. Dalam hal personalisasi, misalnya, partai ini sungguh identik dengan sang Ketua Dewan Pembina, Susilo Bambang Yudhoyono. Dua sukses elektoral (2004 dan 2009) yang diraihnya pun terbangun di atas tiga pilar utama: Susilo, Bambang, dan Yudhoyono.
Dalam konteks itulah, kemenangan Anas di Bandung layak disebut angin basah di tengah musim kering. Di satu sisi, kemenangan ini menunjukkan terjadinya proses politik yang dewasa karena kandidat yang terpilih bukanlah yang didukung Yudhoyono. Kita sama-sama mafhum, melalui sang putra, Yudhoyono tegas mendukung kandidat yang lain.
Di sisi lain, kemenangan politisi semuda Anas seoah-olah menegaskan diferensiasi Partai Demokrat dibandingkan umumnya partai lain. Ketika partai lain mengalami kemacetan regenerasi, Partai Demokrat menunjukkan gejala sebaliknya. Maka, bagi mereka yang mendambakan penyegaran pelaku politik, hasil Kongres Bandung pun membuat Partai Demokrat terlihat lebih menarik dibandingkan umumnya partai-partai lain.
Tetapi, bagi Anas, kemenangan dalam Kongres Bandung bukanlah akhir, melainkan awal. Anas mesti memulai sebuah proyek politik amat penting bagi dirinya: Membangun kaki-kaki politik yang kuat untuk membuatnya bisa berdiri kokoh di tahun keramat 2014.
Ia sadar betul tak bisa bergantung sepenuhnya kepada Yudhoyono. Ia juga tahu bahwa Yudhoyono tak akan begitu saja menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan nasional kepadanya.
Bagi Anas, bergantung pada Yudhoyono adalah berjudi dalam ketidakpastian. Alih-alih melakukan itu, ia harus memperkuat basis politik nyata dengan membangun interaksi, simpati dan dukungan dari jaringan partainya di daerah.
Walhasil, Anas menjadi Ketua Umum partai yang paling rajin berkeliling. Dalam sebuah perbincangan pribadi, Anas mengaku hanya menghabiskan 30 persen waktunya di Jakarta. Sisanya ia gunakan untuk menyambangi jaringan partai di seantero negeri. Lebih dari dua pertiga energinya dibelanjakan untuk menanam bibit-bibit dukungan politik di daerah.
Bukan hanya rajin berkeliling, Anas juga menjalankan politik akomodasi, dengan mendengar dan menimbang aspirasi para pimpinan partainya di daerah. Setidaknya, itulah yang dituturkan oleh sejumlah pengurus daerah Partai Demokrat kepada saya, dalam berbagai kesempatan.
Bukan hanya memperkuat jaringan dukungan dalam partai, Anas pun dengan rajin mencicil pengumpulan popularitas dan elektabilitas. Di berbagai tempat yang didatanginya, ia rajin memperkenalkan diri dan mulai membangun basis dukungan publik melalui berbagai bentuk aktivitas.
Maka, sambil menyelam Anas minum air. Sambil mempraktikkan politik akomodasi guna memperkuat dukungan dalam struktur partainya, ia membangun jaringan “Sahabat Anas” di mana-mana.
Saya paham. Hanya dengan cara itulah ia menjadi kuat, terutama berhadapan dengan sang Ketua Dewan Pembina. Jika hanya menggantung ke atas, ia gampang dipotong dan jatuh. Tapi, jika menanam akar yang kuat, ia bisa berdiri kokoh dan tak gampang tumbang kena gergaji.
Tetapi, saya bukan pembeli yang gampang tergiur oleh dagangan Nazaruddin bahwa Anas memperkuat diri untuk menggulingkan Yudhoyono. Menurut saya, target Anas justru sebaliknya: Memperkuat kaki politiknya untuk membuat Yudhoyono pada saatnya kelak tak punya pilihan lain selain mendukung Anas.
Anas tahu persis bahwa tak ada gunanya menyingkirkan batu yang terlampau besar dan kokoh. Jauh lebih berguna menggunakan batu itu sebagai pijakan untuk meloncat ke ketinggian.
Rumus politik Anas, sepenglihatan saya, adalah memperlakukan siapa saja sebagai sahabat dan bukan musuh. Hatta dengan siapa saja ia ingin dikesankan sebagai sahabat, apatah lagi dengan Yudhoyono.
Ia tahu persis bahwa dirinya — dan siapapun di Partai Demokrat — bukanlah siapa-siapa dibandingkan Yudhoyono. Berbagai langkah yang dilakukannya sekarang justru untuk mendesakkan sebuah “persahabatan mendalam” dengan sang Ketua Dewan Pembina.
Desakan itu hanya efektif jika Anas berdiri kokoh dengan dua modal: dukungan kuat dari jaringan partainya di daerah dan popularitas-elektabilitas tinggi (yang ditunjukkan via survei). Dua modal ini yang akan membuatnya tak bisa dipandang dengan sebelah mata, melainkan akan ditimbang penuh keseriusan, terutama oleh Yudhoyono.
Maka, basis politik Anas adalah akomodasi, persahabatan dan pengamanan diri. Dalam konteks ini, ujian terpokok Anas sesungguhnya bukanlah 2014 melainkan perjalanan menuju 2014.
Dan kenyamanan dan keamanan perjalanan itulah yang saat ini potensial terganggu oleh gegar Nazaruddin dan kisruh Partai Demokrat. Jika tak terkelola baik, gegar-kisruh ini kontraproduktif: Bukannya menangguk sahabat, Anas justru mendulang musuh.
“Pemusuhan” paling sengit diperlihatka oleh media massa. Pertanyaan tentang integritas Anas mengemuka bukan sekadar sebagai obrolan warung kopi dari mulut ke mulut melainkan berita utama sejumlah media massa utama nasional dan lokal.
Media sosial — yang sungguh terbuka, personal dan tak mudah dikendalikan itu — juga terlihat mulai memusuhinya. Suara-suara sumbang tentang Anas menjadi kicauan para pengguna media sosial semacam Facebook dan Twitter.
Tapi, menurut saya, musuh terbesar Anas tak lain dan tak bukan dirinya sendiri. Prospek politik Anas akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh “Anas Besar” berhasil mengalahkan “Anas Kecil”.
Anas Besar adalah yang bukan cuma muda secara biologis tetapi juga pembaharu dalam perilaku politik. Anas Kecil adalah peniru belaka, yang larut dalam langgam kerja para pendahulunya: senang bekerja secara instant, ingin segera kaya selekas-lekasnya, merebut kuasa dengan jalan sesingkat-singkatnya.
Anas Besar adalah penjaga integritas, yang pandai menegaskan diferensiasi dengan umumnya politisi. Anas yang tak jorok dan tak dikendalikan pragmatisme yang lewat takaran. Anas Kecil sebaliknya.
Dalam perjalanan menuju 2014 Anas mesti mengalahkan musuh terbesarnya itu. Jika tidak, Anas menjadi tak terlampau penting pada 2014. Anas bisa saja berhasil “menjejakkan kakinya” di 2014 tetapi pada saat itu Anas Besar sudah binasa, terbunuh oleh Anas Kecil.
Pada 2014, Anas bisa saja sampai di sebuah kedudukan penting, entah apa. Namun, jika yang duduk adalah Anas Kecil yang sudah sukses membunuh Anas Besar, ia sesungguhnya tak lulus ujian.
Jika itu yang terjadi, ketika kelak Anas merayakan pesta kemenangan, kita terpuruk dalam perkabungan besar. Wallahu a’lam bish-shawab. Oleh Eep Saefulloh Fatah (sumber: Tempo 18-24 April 2011)
Source : polmarkindonesia.com
Posted with WordPress for BlackBerry.