BANDA ACEH – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan WH provinsi mencopot satu spanduk Partai Rakyat Aceh (PRA), Minggu (25/1). Spanduk bertuliskan, “Pemerintah adalah babu masyarakat” yang dipasang di samping pagar bekas gedung SMK 2 Banda Aceh itu, dinilai bernada tendensius.
“Kalau dibaca kalimatnya terlalu tendensius, dan itu tidak sesuai dengan semangat perdamaian dan aturan. Maka, pada hari itu (Minggu-red), oleh Satpol PP dan WH Provinsi sudah menurunkannya,” kata Kepala Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Iskandar M Si yang dikonfirmasi Serambi, Senin (26/1).
Dia menjelaskan, kalimat dalam spanduk itu dinilai terlalu tendensius dan tidak relevan dipajang di di tempat umum, terlebih lagi dalam suasana pemilu damai di Aceh. “Siapa saja boleh mengungkapkan ekspresinya. Tapi harus juga dilihat manfaat kepada masyarakat dan tidak melanggar aturan yang sudah ditentukan,” jelasnya.
Menurut Iskandar, walikota Banda Aceh juga telah mengeluarkan peraturan dalam kaitannya pemasangan atribut dan alat peraga kampanye partai politik. Dia menilai, saat ini banyak atribut parpol yang dipasang di tempat terlarang. Seperti kawasan depan Pendapa Gubernur Aceh, rumah ibadah, sekolah, rumah sakit, dan tempat-tempat yang ada fasilitas umum. “Termasuk juga di kawasan rumah penduduk. Kalau tidak mendapat izin dari pemilik rumah, maka atribut partai tidak boleh dipasang,” jelasnya.
Ketua DPW PRA Kota Banda Aceh, Zulkarnain mengakui sebelum spanduk tersebut diturunkan, anggota Satpol PP telah mendatangi kader PRA dan meminta agar spanduk tersebut diturunkan. “Karena merasa tidak melanggar UU Pemilu, maka kader PRA menolak untuk menurunkan spanduk itu,” ujarnya.
Zulkarnain mengatakan, kalimat dalam spanduk itu tidak melanggar UU. “Kami tidak melakukan pelanggaran undang-undang seperti yang dituduhkan oleh Satpol PP. Kami kira Satpol PP dan WH sangat penting untuk membaca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008,” ujarnya.
Dia menyebutkan, tindakan Satpol PP dan WH yang menurunkan atribut kampanye PRA tersebut dinilai sebagai tindakan melanggar HAM dalam menyampaikan pendapat dan menghilangkan makna pemilu yang demokratis.(sar)
Source : Serambi Indonesia