Gerakan ideologis bernuansa agama yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan ini bukan peristiwa baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan tahun 1945, di Indonesia berkembang tiga ideologi besar, yaitu nasionalisme, Islam, dan komunisme.
Sejarah mencatat, pada 1948 Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah memberontak terhadap pemerintahan Soekarno. Hal yang sama dilakukan lagi oleh PKI pada 1965, dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S).
Sejumlah kelompok Islam pun tercatat pernah memberontak terhadap negara. Pemberontakan ini tidak ada kaitannya dengan kekuatan politik resmi ideologi Islam yang diwakili Masjumi dan NU, tetapi oleh tokoh-tokoh Islam yang kecewa kepada pemerintah. Perlawanan tokoh-tokoh Islam ini diawali dengan gerakan Darul Islam (DI) Jawa Barat dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.
DI/TII Kartosuwiryo memberontak terbuka kepada negara (1949) dengan tujuan mendirikan negara Islam. Pada tahun-tahun berikutnya gerakan-gerakan serupa muncul di berbagai daerah, yaitu di Kalimantan Selatan dipimpin Ibnu Hajar (1950), Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakkar (1952), dan Aceh dipimpin Daud Beureuh (1953).
Tahun 1953 mereka sepakat membentuk front persatuan dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Untuk segera mendirikan negara Islam, NII membuat doktrin jihad dipahami sebagai perjuangan bersenjata atau penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan. Di sinilah radikalisme dari perjuangan NII bersemai dan tumbuh menjadi sebuah pola perjuangan.
Pada tahun-tahun berikutnya, dinamika NII diwarnai dengan gesekan kepentingan internal terkait dengan isu suksesi imam pengganti Kartosuwiryo. Hingga kemudian pada tahun 1990-an NII terpecah ke dalam beberapa faksi yang kemudian diikuti dengan perubahan metode perjuangan. Meski demikian, gerakan-gerakan radikal, terutama kelompok teroris yang muncul pada 2000-an, ditengarai memiliki semangat yang sama dengan NII pra-1962, yaitu mendirikan negara Islam.
Terhadap aksi-aksi radikal gerakan NII lainnya, terutama pada masa rezim Orde Baru, negara lebih banyak menggunakan operasi intelijen untuk mengawasi semua kegiatan bawah tanah NII. Operasi intelijen ini memiliki sasaran untuk ”menginsafkan” tokoh-tokoh NII agar mau kembali ke pangkuan negara RI.
Respons negara yang lebih keras terhadap radikalisme ideologi adalah ketika rezim Orde Baru memberangus PKI beserta ormas-ormasnya. Negara menghukum mati hampir semua tokoh penting PKI, membunuh anggota-anggotanya, dan memenjarakan simpatisannya. Selain itu, negara juga mendiskriminasi eks anggota PKI beserta keluarganya dalam administrasi kependudukan dan jabatan-jabatan publik. Untuk mengantisipasi munculnya gerakan komunis, pemerintah lalu menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal untuk semua ormas dan partai politik. Meningkatnya radikalisme ideologi bisa jadi karena nilai-nilai dasar yang menjadi tuntunan kehidupan bernegara saat ini sudah memudar. (STN/LITBANG KOMPAS)
Source: Kompas.com