Jakarta, Kompas – Tidak ada demokrasi tanpa konflik. Dengan mengambil demokrasi, ”konflik produktif” demi kepentingan bersama justru sengaja dihidupkan. Demokrasi selalu dianggap jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik.
”Kalau semuanya bisa dijalankan, itu berarti kita menjalankan demokrasi dengan baik. Dengan begitu, konflik tidak semata-mata menjadi kutukan, tetapi menjadi berkat,” kata Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae pada kuliah umum bertajuk ”Intelektual dalam Masa Krisis” di Jakarta, Rabu (25/5).
Dalam kuliah umum tersebut juga diluncurkan lima buku karya Prof (Ris) Hermawan Sulistyo PhD: Siapa Makan Siapa, Negeri Serdadu dan Polisi Tidur, Bom untuk Polisi, Biar Miskin yang Penting Sombong, serta Darah, Nasi dan Kursi.
Dhakidae membahas buku Hermawan Sulistyo yang berjudul Darah, Nasi dan Kursi. Buku ini ditulis Hermawan Sulistyo dengan mengutip kutukan Empu Gandring bahwa konflik selalu menjadi bagian dari politik Indonesia. ”Politik pada dasarnya adalah perang, dalam hal ini politik tidak berbeda dari sepak bola. Perang dalam sepak bola menjadi kebudayaan ketika di sana diberi rules and regulations, ethics and etiquette,” tuturnya.
Namun, hampir di semua kamar-kamar politik, istilah perang sudah tidak terdengar lagi, kecuali dalam pemilu yang merupakan satu-satunya tempat istilah perang masih tersimpan. Perang atau konflik menjadi inti dalam masyarakat. Istilah-istilah perang itu masih ada dalam pemilu. Pada masa modern dikenal adagium ”from bullet to ballot”, dari pelor ke kotak suara.
”Kita masih mendengar war room, ruang strategi pemilihan umum: taktik dan strategi, semua berasal dari istilah perang,” kata Dhakidae. Demokrasi sebenarnya mirip sepak bola. Dalam demokrasi modern, politik sudah diberi aturan dan peraturan, ethics dan etiquette untuk membuat perang menjadi politik.
”Pertanyaannya, apa ada politik di dunia ini tanpa konflik? Jawabannya tak ada. Konflik tidak pernah hilang dan tidak akan hilang. Kalau tidak ada, di mana penyelesaiannya? Demokrasi selalu dianggap jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik.
”Demokrasi adalah memanfaatkan posisi tawar sosial untuk memperoleh konsensus dengan memproduktifkan konflik. Ketika kita mengatakan ’memproduktifkan konflik’, kita berada pada bidang paradoks demokrasi itu sendiri. Konflik sengaja diangkat ke atas agar ada penyelesaian terbuka,” kata Dhakidae.
Sementara itu, Hermawan Sulistyo yang juga peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyatakan keresahannya sebagai intelektual.
”Saya kagum kepada orang seperti Daniel Dhakidae yang memilih jalan sunyi sebagai intelektual independen, sementara orang lain lebih memilih masuk DPR atau birokrasi. Bagi saya, seorang intelektual tidak cukup hanya melakukan penelitian, membuat artikel atau bicara di televisi, tetapi menulis buku juga penting sebagai sarana aktualisasi pemikiran intelektual,” kata Hermawan. (LOK)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.