BANDA ACEH – Masa depan perdamaian Aceh masih meretas jalan panjang dan penuh rintangan. Untuk itu, merupakan kewajiban semua pihak menjaga agar konflik tidak kembali terulang yang pada akhirnya membuat masyarakat Aceh harus kembali didera penderitaan.
Hal itu dikatakan mantan anggota Juru Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, dr Zaini Abdullah, saat menyampaikan sambutan pada Seminar Tiga Tahun MoU Helsinki bertajuk Merajut Persaudaraan Menuju Damai Abadi di Aceh yang berlangsung di Hermes Palace Hotel, Selasa (12/8) kemarin.
“Betapa pun optimisnya hati dan perasaan kita, semua kita harus menyadari bahwa perjanjian Helsinki yang dicapai pada 15 Agustus 2005, hanyalah sebuah kunci awal dari sebuah perjalanan panjang perdamaian yang kita tempuh bersama. Pekerjaan-pekerjaan besar perdamaian sesungguhnya baru kita mulai dan bahkan ada yang belum kita mulai,” ujarnya.
Seminar yang digagas Institut Perdamaian Indonesia-Interpeace Aceh Program (IIAP) bekerja sama dengan Badan Narasumber Damai Aceh/Aceh Peace Resource Center (APRC) itu diikuti 300 peserta, dan turut dihadiri sejumlah negosiator perundingan damai Aceh. Selain Zaini Abdullah, hadir pula Dr Hamid Awaluddin, Farid Husein, serta unsur dari Muspida Aceh.
Zaini mengatakan, perdamaian saat ini telah sampai pada sebuah titik yang tidak ada pilihan lain, kecuali kedua belah pihak (RI-GAM) harus melanjutkan dan memastikan komitmen damai yang telah disepakati, akan laksanakan dengan sebaiknya dan sejujur-jujurnya.
“Hari-hari ini dan hari yang akan datang adalah waktu yang akan sangat menentukan sejauh mana kita mampu merawat keyakinan dan kesungguhan itu,” katanya.
Dia jelaskan, salah satu tantangan yang dihadapi setiap masyarakat pascakonflik di manapun di dunia adalah bagaimana mengembalikan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menuju ke arah kehidupan yang normal, setelah dalam waktu lama hidup dalam suasana ketidakpastian.
Menurutnya, merujuk pada pengalaman beberapa negara lain di dunia, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir cukup banyak kesepakatan damai yang kembali memasuki siklus konflik, hanya karena ketidaksungguhan para pihak yang terlibat dalam konflik dalam memegang komitmen yang disepakati.
Pengalaman ini pula, kata Zaini Abdullah, akan dihadapi para pihak (GAM-RI) yang telah berdamai sejak ditandatangani MoU Helsinki, 15 Agustus 2005.
Untuk itu, kata Zaini, diperlukan sebuah pemahaman untuk mendorong agar perdamaian di Aceh tetap berlanjut abadi. Salah satunya, kata dia, adalah dengan melakukan pendekatan persuasif dan berbicara dari hati ke hati apabila ada sesuatu hal yang dinilai belum berjalan sesuai dengan komitmen yang telah disepakati.
“Perjalanan ke depan masih panjang. Kadang juga melelahkan. Tapi saat ini damai itu sudah kita rasakan bersama. Untuk itu, jangan biarkan kesempatan kepada musuh-musuh kita menodai perdamaiaan ini,” tukasnya.
Momentum rekonsiliasi
Sebelumnya, salah satu tokoh negosiator perdamaian Aceh, Farid Husein mengatakan, peringatan tiga tahun damai di Aceh merupakan momentum yang tepat untuk melakukan rekonsiliasi dengan penuh keikhlasan oleh semua komponen masyarakat demi sebuah masa depan Aceh yang bermartabat.
Ia tamsilkan sebagai proses tumbuh-kembang anak, usia tiga tahun adalah proses anak mencapai emosi yang stabil. “Kestabilan emosi ini diharapkan menjadi bola salju yang bisa dirasakan oleh seluruh komponen masyarakat Aceh guna menatap Aceh yang lebih cerah,” ungkap dokter berdarah Bugis ini.
Sementara itu, Gubernur Aceh dalam amanat tertulisnya yang dibacakan Asisten Keistimewaan, Pembangunan, dan Ekonomi Setda Aceh, Ir T Said Mustafa, mengatakan pascatiga tahun perdamaian, Aceh telah banyak mengalami perubahan. Baik itu dalam bentuk dinamika budaya maupun politik.
Begitupun, menurut Gubernur, rakyat Aceh tidak boleh larut dalam “euforia” atau gembira berlebihan dengan perdamaian, karena masih banyak tantangan yang menghadang di depan. “Jangan ’euforia‘ dengan damai Aceh yang sudah tiga tahun kita rasakan, karena masih banyak tantangan yang menghadang di depan. Jika tidak waspada, damai tidak akan membawa perubahan apa pun bagi rakyat,” katanya.
Mantan juru runding pemerintah RI di Helsinki, Hamid Awaluddin mengaku bangga, memasuki tahun ketiga MoU Helsinki, situasi perdamaian di Aceh mengalami kemajuan signifikan. Indikasi ini dapat dilihat dari mulai menggeliatnya aktivitas masyarakat di Aceh yang sangat berbeda ketika dilanda konflik.
“Ukurannya sangat sederhana. Dulu warung kopi tutup jam lima sore, tapi sekarang jam 12 masih buka. Dulu para sopir mobil penumpang waswas, tapi sekarang sudah jalan normal. MoU telah mengubah itu semua,” tandasnya.
Salah satu makna dari kesepakatan MoU Helsinki, menurut Hamid, adalah lahirnya partai politik lokal di Aceh serta adanya reintegrasi dan rekonsiliasi para mantan GAM ke dalam masyarakat. Selain itu, kata Hamid, MoU Helsinki juga memberi ruang bagi penyelesaian sengketa terhadap klausul yang masih dinilai multiftafsir oleh kedua belah pihak.
Kemungkinan revisi
Pada seminar sesi sore kemarin, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Ferry Mursyidan Baldan, menyatakan kalau Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dinilai dan dirasakan sebagian kalangan masih belum mengakomodasi sepenuhnya MoU Helsinki, menurutnya, masih tetap terbuka peluang untuk didialogkan dan direvisi. Tapi jangan sampai, karena terlalu terfokus dan bersemangat untuk merevisi, sehingga pasal-pasal di dalam UUPA yang sebetulnya sudah tak ada masalah lagi tidak kunjung diimplementasikan.
Menurut Ferry, UUPA sebetulnya merupakan peluang dan jembatan emas dari masyarakat Aceh sebagai entitas yang otonom untuk meraih masa depannya secara lebih bermartabat, sejahtera, dan berkeadilan dalam masa 20 tahun sejak UU tersebut disahkan. “Jangan kita sia-siakan peluang ini,” ujarnya.
Azwar Abubakar yang tampil secara panel bersama Ferry dan Juha Christensen menyebutkan, energi damai orang Aceh lebih besar daripada energi perang. Itu sebab, dia yakin sekaligus berharap bahwa perdamaian kali ini akan awet dan langgeng, sehingga tak akan pernah ada lagi konflik bersenjata di Aceh.
Sementara itu, Juha Christensen selaku panitia mengatakan pada hari Rabu ini masih berlangsung lokakarya di tempat yang sama dengan menghadirkan sekitar delapan narasumber dan diikuti oleh 150 peserta. Siangnya akan dibacakan hasil rumusan semiloka dalam rangka peringatan tiga tahun MoU Helsinki itu. (sar)
Source : Serambi Indonesia