Rapat Koordinasi Nasional Partai Demokrat, yang dipelesetkan oleh banyak orang sebagai ”Rapat Korban Nazaruddin”, 23-24 Juli 2011, baru saja usai.
Peserta rapat atau pengamat politik yang ingin melihat adanya gegap gempita suasana rapat atau mereka yang ingin melihat dikeluarkannya keputusan penting dalam rapat koordinasi nasional (rakornas) tentunya menilai bahwa penutupan rakornas pada Minggu petang adalah sebuah antiklimaks.
Namun, mereka yang memahami karakter kepemimpinan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum pastinya sudah menduga rakornas ini tak lebih dan tak kurang hanya upaya untuk meredam konflik internal dan mendinginkan suasana panas di PD sebagai akibat ulah mantan Bendahara Umum PD M Nazaruddin yang tak mau dijadikan ”korban” sendirian dalam kasus korupsi yang dituduhkan kepada dirinya.
Jika Nazaruddin ibarat ingin ”membakar lumbung padi PD agar tikus-tikus di dalam partai dapat ditangkap”, duet Yudhoyono dan Anas justru ingin ”menyelamatkan lumbung padi sambil mengimbau agar mereka yang tidak bersih secara sukarela keluar dari partai”.
Kasus Nazaruddin memang sesuatu yang amat menarik. Kisah pelariannya pun sungguh luar biasa dan fenomenal. Meski paspornya sudah dicabut, ia masih leluasa berpindah dari Singapura ke negara lain. Tak heran jika Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyatakan, ”Dia hebat, kita kalah (Kompas, 25/7/ 2011).” Selain itu, Nazaruddin juga benar-benar jadi ”Newsmaker of the Year 2011” karena sejak kasusnya diungkap sampai tiga bulan kemudian media massa cetak, elektronik, dan sosial tak henti-hentinya memberitakan soal dirinya.
Terlepas dari tindakan korupsi yang dituduhkan kepada dirinya, Nazaruddin termasuk sosok yang amat berani! Bayangkan, dia berani memberikan informasi awalnya melalui pesan singkat (SMS) dan Blackberry Messenger (BBM) ke media massa, dilanjutkan dengan wawancara melalui telepon dan berakhir dengan wawancara menggunakan Skype. Padahal, kita tahu tempat dia berada dapat dideteksi saat dia menggunakan telepon seluler ataupun Blackberry-nya. Itu dilakukan ketika dia sudah dimasukkan ke dalam kategori ”Red Notice” ke Interpol. Ini berarti Polri, yang katanya sudah mengetahui tempat persembunyian Nazaruddin, dapat meminta bantuan interpol negara setempat untuk menangkap dia.
Pembicaraan tingkat tinggi antara Presiden Yudhoyono sebagai Ketua ASEAN dan Perdana Menteri Singapura BG Lee juga dapat dilakukan saat Nazaruddin masih di Singapura. Permintaan bantuan kepada Pemerintah Argentina, jika benar ia berada di sana, juga dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Apalagi, Indonesia pernah memiliki hubungan amat baik saat Argentina berperang dengan Inggris dalam kasus Malvinas atau Falkland.
Asas resiprositas bisa berlaku dalam hubungan internasional. Karena itu, jika pemerintah benar-benar serius ingin memulangkan Nazaruddin, berbagai upaya melalui saluran apa pun, interpol atau pendekatan diplomatik, dapat dilakukan. Anehnya, Yudhoyono, baik sebagai presiden maupun Ketua Dewan Pembina PD justru hanya mengimbau agar Nazaruddin pulang ke Tanah Air dan menjalani proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas, 23/7/2011).
Entah siapa yang memberi gagasan, pernyataan Presiden Yudhoyono yang menuduh adanya pihak-pihak mengadu domba kader-kader PD tak saja menyudutkan media massa, tetapi justru menyebabkan media massa memosisikan Yudhoyono bukan lagi ”Media Darling”, kalau tak dapat dikatakan kini ia ”Media Enemy”.
Slogan kosong
Tema Rakornas PD yang berbunyi ”Konsolidasi, Perbaikan, dan Peningkatan Kinerja” partai bisa jadi slogan kosong tanpa makna. Kita melihat secara kasatmata selama rakornas tak terjadi suatu pertukaran gagasan yang bernas mengenai bagaimana PD berkonsolidasi, bersih-bersih diri, dan meningkatkan kinerja agar para kader yang bertarung di pilkada di berbagai daerah dapat memenangi pertarungan politik itu dan menyongsong pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014.
Partai juga tidak cukup hanya mengimbau agar mereka yang tidak bersih keluar dari partai karena tentunya tak akan ada kader partai yang melakukan itu secara sukarela. Pembersihan di internal partai juga tidak dapat dilakukan jika mereka yang diberi tanggung jawab untuk melakukan itu dipandang oleh masyarakat, bahkan di internal partai, sebagai sosok kader yang tidak bersih.
PD sampai saat ini juga masih tersandera kasus-kasus, seperti skandal Bank Century, kasus korupsi Nazaruddin dan turunannya yang mengenai kader-kader PD lain, kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi yang diduga dilakukan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati, yang kini jadi salah satu pengurus teras PD, serta kasus-kasus korupsi lain yang diduga dilakukan oleh beberapa kader partai.
”Rekomendasi Sentul” yang berisi sepuluh butir tersebut, tanpa menyebut kasus Nazaruddin, tampaknya juga sesuatu yang tak bermakna. Bagaimana mungkin PD dapat melakukan bersih-bersih diri, memperbaiki hubungan internal partai, dan meningkatkan kinerja partai jika persoalan-persoalan yang mendera partai tidak diselesaikan seluruhnya dalam langkah yang konkret sekali dan selamanya.
Hasil rakornas di Sentul hanya menghasilkan suatu konsolidasi semu. Tutup buku dalam kasus Nazaruddin berarti PD melarikan diri atau tak ingin terkait dengan kasus tersebut. Padahal, justru kasus Nazaruddin dan turunannya yang seharusnya diselesaikan secara tuntas terlebih dahulu jika partai berlambang segitiga biru ini ingin melangkah ke masa depan.
Kasus Nazaruddin ibarat kanker ganas yang menggerogoti PD. Jika tidak ada diagnosis dan tindakan tuntas untuk menyelesaikan kasus tersebut, tubuh PD akan semakin tidak berdaya untuk melangkah ke masa depan. Bukan mustahil PD sedang mengalami pengeroposan dari dalam partainya sendiri. Ini yang penulis sebut sebagai Sandyakalaning Partai Demokrat.
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.