Upaya penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen menjadi jalan agar proses politik di lembaga legislatif lebih efektif dan produktif. Namun, publik melihat perlunya upaya penyederhanaan itu menemukan titik temu dan seiring dengan aspek keterwakilan dari keragaman yang sudah ada di negeri ini.
Sejarah perjalanan demokrasi di negeri ini menunjukkan berbagai upaya politik dilakukan untuk menyederhanakan jumlah partai politik (parpol). Perlunya penyederhanaan parpol tertuang sebagai pemikiran bahwa semakin banyak partai memiliki kursi di parlemen akan semakin memanjangkan jalan pencapaian konsensus politik, yang ujung- ujungnya kurang efektifnya pemerintahan. Tentu saja berbagai argumentasi bisa diajukan terhadap pandangan demikian.
Hasil jajak pendapat Kompas terhadap hal ini memperlihatkan persetujuan sebagian besar responden (71,6 persen) terhadap wacana pengurangan jumlah parpol di DPR. Membandingkan dengan jajak pendapat sebelumnya juga terbaca konsistensi penilaian publik soal perlunya penyederhanaan jumlah parpol dengan alasan kebingungan responden memilih gambar parpol di kertas suara saat hari pencoblosan pemilu.
Menguatnya wacana penyederhanaan jumlah partai tentu tak lepas dari potret kurang mengalirnya relasi politik antara sistem pemerintahan dan sistem kepartaian saat ini. Idealnya, ”pasangan” sistem pemerintahan presidensial adalah sistem kepartaian yang dwipartai. Namun, ini bukan berarti relasi itu tak bisa menghasilkan stabilitas. Syaratnya, upaya membangun apa yang disebut ilmuwan politik Arend Lijphart (1977) sebagai ”demokrasi konsensus”.
Faktanya, sistem presidensial di Indonesia harus berhadapan dengan sistem multipartai. Ditambah ciri khas sulitnya membangun konsensus politik antarpolitisi di DPR berakibat centang-perenangnya kualitas demokrasi yang dibangun. Lihat saja urusan konsolidasi politik terhadap berbagai kebijakan pemerintah di antara partai-partai koalisi di Sekretariat Gabungan yang ”bukan main” dinamika politiknya. Berkaca pada hal itu, bagaimana lalu konsensus bisa dibangun antara partai pemerintah dan parpol oposisi yang jelas-jelas mengambil jarak kebijakan dengan penguasa?
Persoalan berikutnya adalah ketidakpuasan umum terhadap kinerja parpol yang akhir-akhir ini memunculkan naik turunnya dinamika popularitas di antara tiga partai besar yang ”menguasai” parlemen (Demokrat, Golkar, PDI-P). Dari jajak pendapat ini terekam penilaian 85,6 persen responden yang tidak puas dengan kinerja parpol dalam berbagai aspek representasinya terhadap rakyat. Parpol berkualitas, bersih tanpa korupsi, dan tulus berjuang untuk rakyat lebih menjadi PR yang mengemuka saat publik diminta menilai wajah parpol saat ini.
Tak ayal, obat yang pertama-tama dinilai manjur untuk menyembuhkan persoalan efektivitas di parlemen dan kinerja parpol adalah memperketat proses pendirian partai dan membatasi jumlah parpol pada pemilu dan di parlemen. Hampir semua responden (91,1 persen) menyetujui langkah pengetatan itu sebagai upaya penyederhanaan jumlah parpol.
Ambang batas
Upaya membatasi jumlah parpol pada pemilu dilakukan dengan mekanisme ambang batas perolehan suara (electoral threshold) sebesar 2 persen pada Pemilu 1999 dan 2004. Partai yang tak meraih suara pemilih sebanyak 2 persen pemilih pemilu nasional tak berhak mengikuti pemilu lima tahun berikutnya. Sayangnya, mekanisme ini jadi tak efektif karena jumlah partai tak juga berkurang. Berbagai modus dilakukan partai agar tetap bisa menyiasati peraturan, mulai dari yang hanya berganti nama atau logo hingga membentuk partai baru yang mirip agar bisa tetap ikut pemilu.
Upaya terbaru diterapkan pada Pemilu 2009 melalui ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang ditetapkan sebesar 2,5 persen dari jumlah suara pemilih nasional. Partai yang tidak memenuhi perolehan suara minimal tidak berhak mendudukkan wakilnya di DPR. Hasilnya, dari 38 parpol peserta pemilu, hanya sembilan parpol yang berhasil masuk parlemen pusat. Saat ini, sembilan parpol ini pun masih dirasakan terlalu banyak. Sejumlah fraksi di DPR mengkaji perlunya menaikkan angka ambang batas parlemen. Partai Golkar, PDI-P, dan PKS mengusulkan angka 5 persen, sedangkan Partai Demokrat mengusulkan angka 4 persen. Parpol menengah seperti PPP, PKB, PAN, Gerindra, dan Hanura cenderung memilih syarat 2,5 persen suara.
Sejumlah pemerhati politik mengkhawatirkan peningkatan ambang batas memberi peluang bagi munculnya penguasaan negara oleh sedikit parpol (oligarki parpol) jika jumlah partai di parlemen semakin sedikit akibat peningkatan angka ambang batas tersebut. Sebaliknya di mata publik, tidak sedikit (42,1 persen) yang menyebutkan usulan kenaikan angka ambang batas itu tidak otomatis menguntungkan parpol besar. Meski demikian, penyederhanaan parpol tidak selalu harus disederhanakan dalam konteks demi efektivitas pemerintahan. Pemerhati politik dari Universitas Airlangga, Kacung Marijan, mengatakan, upaya menyederhanakan parpol harus ditempatkan dalam konteks Indonesia negara demokrasi yang harus mengakomodasi keterwakilan (Kompas, 15/6/2010).
Keterwakilan
Untuk itu, meskipun apresiasi publik cenderung positif terhadap rencana kenaikan angka ambang batas parlemen, aspek keragaman dalam politik tetap harus dipertahankan. Hal ini dinyatakan sebagian besar responden (74,7 persen) yang berharap semua unsur di masyarakat dapat terakomodasi dalam parpol di parlemen.
Pengalaman di hasil Pemilu 2009 menyebutkan, dengan penerapan ambang batas 2,5 persen saja, ada 29 parpol kecil tereliminasi dari parlemen. Tidak heran jika sejumlah parpol non-DPR, seperti Partai Bulan Bintang, Partai Damai Sejahtera, Partai Kebangkitan Nasional Ulama, dan Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia, menilai penerapan ambang batas mengancam pluralisme dan menghilangkan banyak suara. Pada Pemilu 2009, jumlah suara yang hilang dan tidak terwakili di parlemen diperkirakan mencapai 39 juta suara.
Publik mengakui terbatasnya parpol di parlemen bakal berimbas pula pada terbatasnya akomodasi politik dari semua elemen masyarakat di Indonesia. Padahal, dilihat dari sudut pandang apa pun, keberagaman sosial, budaya, dan politik adalah keniscayaan bangsa ini. Mayoritas publik juga menguatkan pandangan itu dengan menyatakan sembilan parpol di DPR saat ini belum mewakili semua elemen yang hidup di masyarakat. (LITBANG KOMPAS)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.