Depok, Kompas – Kemungkinan jalan buntu yang terjadi dalam sistem presidensial pasca-amandemen konstitusi bisa dihilangkan dengan sikap kompromi presiden.
Sikap dan tingkah laku yang sangat diwarnai dengan budaya Jawa ini di satu sisi menguntungkan bagi hubungan antarlembaga negara, tetapi dalam hubungan kelembagaan negara pada masa mendatang tetap perlu adanya komitmen kelembagaan.
Demikian, antara lain, pemaparan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, dalam ujian promosi doktor terbuka di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, Rabu (10/12).
Syamsuddin mendapat predikat sangat memuaskan dengan disertasi yang berjudul Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca-amandemen Konstitusi. Hadir sebagai penguji di antaranya promotor Prof Maswadi Rauf, dan ko-promotor Prof Dr Amir Santoso dan Prof Dr Burhan Djabir Magenda, serta tim penguji Dr Dhaniel Dhakidae dan Dr Isbodroini Suyanto.
”Presiden dalam konteks presidensialisme sekarang ini tampaknya lebih berperan secara pribadi ketimbang institusionalisme. Dan, ke depan politik bangsa tetap dipengaruhi peran budaya ini,” ungkap Syamsuddin ketika menjawab pertanyaan dari penguji Isbodroini.
Syamsuddin juga menyebutkan tentang sulitnya hubungan presiden dan DPR dalam sistem presidensial Indonesia. Dalam konteks kombinasi multipartai, kondisi ini semakin sulit. Apalagi, jika mekanisme kerja sama dan konsultasi antara lembaga kepresidenan dan legislatif tidak bisa dilakukan, kesulitan dan kemungkinan jalan buntu tetap terbuka.
”Hubungan kekuasaan yang terbentuk di satu pihak menguntungkan, tetapi ada inefektivitas dalam pemerintahan, terutama terkait sikap presiden. Dan kebuntuan yang ada selama ini bisa diselesaikan melalui mekanisme rapat konsultasi,” ujarnya.
Secara khusus, Syamsuddin menilai, sikap presiden ke depan harus lebih akomodatif jika tidak ingin ada kebuntuan dalam hubungan antarlembaga. Jika sikap presiden kaku, di pihak lain parpol semakin ideologis, maka potensi konflik yang menghasilkan jalan buntu akan besar.
Burhan mempertanyakan solusi untuk masa depan terhadap sistem presidensial dengan multipartai, seperti yang diterapkan Indonesia. Kondisi ini dalam praktiknya sebetulnya menimbulkan banyak kesulitan.
”Mungkin presiden pada masa transisi sejak Habibie hingga Megawati Soekarnoputri perlu mengangkat menteri penghubung, seperti masa Soekarno dan Soeharto, agar presiden tidak terkaget-kaget ketika mendapat interpelasi,” ujarnya.
Apalagi, menurut Burhan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang hanya membangun kontrak politik dengan Wakil Presiden M Jusuf Kalla dan Partai Keadilan Sejahtera. Mungkin Presiden perlu membuat kontrak politik dengan semua partai agar tak ada gangguan. (mam)
Source : kompas.com