Home > News > Opinion > Sirkus Pemilu Kepala Daerah

Cerita dari pinggiran Yogyakarta. Sekelompok warga datang ke tim sukses salah seorang calon kepala daerah. Hanya karena tak ingin lagi menyewa tenda, meja, dan kursi setiap kali hajatan tiba, mereka menjanjikan semua suara dari 300 pemilih terdaftar di tempat pemungutan suara bakal diarahkan untuk memilih sang calon.

Syaratnya adalah sang calon mesti bersedia membantu tenda lengkap dengan meja-kursi untuk mereka. Saat hari-H pemungutan suara, janji warga untuk memilih sang calon memang dipenuhi. Namun, sempat kotak suara ”disandera” sampai akhirnya tenda yang dijanjikan tiba.

Di ujung Papua, lain lagi ceritanya. Musyawarah para warga kampung menyepakati bahwa suara mereka akan diberikan kepada calon tertentu. Menurut warga, tidak perlu ada tempat pemungutan suara, siapa pun bisa dipercaya untuk memberikan semua suara kampung bersangkutan kepada calon yang telah disepakati dalam musyawarah warga.

Dua cerita itu adalah sebagian warna-warni pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, yang selama ini dikenal sebagai pilkada secara langsung yang dimulai sejak Mei 2005. Perubahan konstitusi dan kemudian diikuti dengan perubahan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah terbukti berimbas besar. Kepala daerah mesti dipilih langsung oleh rakyatnya karena proses demokrasi-perwakilan lewat pemilihan di DPRD yang berlangsung sebelumnya dianggap kurang mencerminkan kehendak rakyat sesungguhnya.

Sejak saat itulah, pesta demokrasi di tingkatan lokal menyita energi yang relatif besar.

Dibelit otoritas

Merujuk data per November 2008, Indonesia terdiri atas 33 provinsi dan 489 kabupaten/kota. Jika dalam lima tahun ke depan semua daerah menyelenggarakan pilkada secara tidak bersamaan; setiap empat hari sekali di Indonesia diselenggarakan pemungutan suara pemilu kepala daerah, betapa riuhnya hajat demokrasi kita. Barangkali pesta demokrasi di Indonesia menjadi paling ramai dan sering dibandingkan di negeri mana pun di dunia ini.

Sepanjang itu pula, otoritas kepartaian, otoritas uang, dan otoritas primordial membelit rakyat (yang semestinya) sebagai penentu kepala daerah terpilih. Struktur politik modern tetap saja rawan menjadi arena baru persaingan kepentingan berbasis klan atau suku. Visi dan misi dari calon kepala daerah terkadang tidak mampu memengaruhi pilihan pemilih. Pemilih lebih terdorong oleh kedekatan primordial, uang, atau kepentingan politik sesaat.

Publik juga mengingat, proses strategis dalam penguatan demokrasi di daerah tersebut acap kali berubah menjadi arena baru konflik antargolongan di daerah. Konflik antarpendukung pun berimbas dengan lambannya pembentukan pemerintahan daerah yang efektif. Pertarungan figur lebih menonjol ketimbang persaingan ideologi dan program.

Dalam menentukan pilihan; kedekatan diutamakan, kekuatan keuangan pun seperti ”wajib” sekalipun bukan jaminan. Tak pelak, acuan yang datang memilih: pemilu masih serupa ritual datang-coblos-pulang-selesai. Mereka tak terlalu peduli lagi dengan apa pun hasil pilihannya karena merasa hidup berikutnya tak ditentukan oleh pasangan kepala daerah terpilih, siapa pun mereka.

Di sisi lain, apatisme rakyat dalam pemilu kepala daerah juga cenderung meningkat. Partisipasi pemilih di pemilu lokal ini hanya berkisar 60 persen. Ujung masalahnya: perubahan signifikan dianggap tidak akan muncul lewat pemilu kepala daerah. Sebelum pemilihan di tempat pemungutan suara berlangsung, rakyat pun cenderung meragukan proses seleksi calon di tubuh partai politik karena kekagetan akibat calon yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat. Bahkan, acap kali calon tak dikenal di daerah itu.

Pemilih kritis

Pada saat bersamaan, apatisme luar biasa tersebut dibarengi dengan munculnya pragmatisme jangka pendek. Yang berlaku adalah prinsip cash and carry karena orientasi-utama adalah pada ”menjual” suara. Bagi kelompok ini, pemilu dianggap terlalu jauh untuk sampai pada harapan perubahan dan cita-cita kesejahteraan sehingga keuntungan jangka pendek yang lebih diburu.

”Pemilih kritis” dianggap lebih kerap absen dalam pemilu lokal ini. Padahal, pengembangan demokratisasi di Indonesia tak boleh hanya sekadar penerapan demokrasi prosedural. Niatan awal, pemilu dilaksanakan untuk kemaslahatan rakyat. Karena itu, rakyat sebagai pemilih mesti dipersiapkan sebaik-baiknya. Bukan pekerjaan mudah menyelesaikannya di Indonesia yang berpenduduk banyak dengan variasi tingkat pendidikan dan penghidupan serta sebarannya di wilayah yang amat luas.

Selama ini, demokrasi kerap diartikan sebagai solusi instan bagi masalah kesejahteraan. Sebagian mencoba menyabarkan: proses demokrasi membutuhkan kesabaran. Ekspetasi yang terlalu jauh karena ada gradualisme yang mesti sama-sama dipahami. Demokrasi hanyalah salah satu unsur yang memfasilitasi proses kesejahteraan.

Pemilu kepala daerah adalah pembelajaran, di mana orang bisa memilih calon berdasarkan pilihan isu yang dekat dengan dirinya. Dukungan terhadap salah satu pasangan calon kepala daerah didasari janji yang bersifat ”lokal”, yang dekat dengan kehidupan rakyat.

Dalam proses ini, pengalaman pemilu kepala daerah juga menunjukkan adanya proses horizontal learning, proses belajar antardaerah. Strategi calon di sebuah daerah yang terbukti efektif menghimpun dukungan rakyat pemilih diadopsi, misalnya dengan cara kampanye lewat layanan ambulans keliling. Juga janji calon untuk membangun daerahnya sehingga tidak kalah (atau setidaknya menyamai) dibandingkan prestasi daerah tetangga. Janji membangun pabrik yang bisa menyerap tenaga kerja setempat juga terbukti berhasil menaikkan calon yang tadinya underdog menjadi pemenang pemilu kepala daerah.

Apa pun, dari proses elektoral yang berkualitas bakal terpilih kepala daerah berkualitas dan ujungnya pada pembentukan pemerintahan yang efektif. Harapan terakhir dari masyarakat dari proses pemilu kepala daerah adalah munculnya kualitas kepemimpinan yang baik.

Kepemimpinan yang baik itulah yang diharapkan bisa mentransfer kekuatan individunya menjadi kebaikan sebuah lembaga. Hanya dengan itu, berdemokrasi punya kedekatan dengan harapan kesejahteraan, bukan hanya lingkaran harapan yang tak berkesudahan. Sidik Pramono

Source : kompas.com

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
SBY dan Anomali Presidensial
Musim ‘Kawin’ Politik
Politik Kaum di Aceh

Leave a Reply