JAKARTA – Sistem pelaporan transaksi keuangan partai yang dibuat oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki banyak kelemahan.
Selain terkesan tidak objektif, hal ini juga ditenggarai dapat menimbulkan celah di setiap pasalnya.
“Karena yang ikut pemilu itu kan para anggota DPR, masa yang membuat peraturannya mereka juga,” ungkap Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein saat berkunjung ke kantor redaksi okezone, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Jumat (1/8/2008).
Salah satu celah yang diungkapkan oleh Yunus adalah dimungkinkannya beredar sumbangan fiktif. Undang-Undang memang membatasi jumlah sumbangan yang bisa diberikan perorangan sebesar maksimal Rp1 miliar maupun kelompok maksimal Rp5 miliar). Namun tidak ada pasal yang melarang orang tertentu untuk menyumbang.
“Bisa saja dana asing masuk untuk mensponsori salah satu partai atau kandidat presiden,” lanjut Yunus.
Jika ini yang terjadi, tentunya akan sangat rawan sekali. Karena integritas dari partai atau calon kandidat presiden yang didukungnya akan menjadi lemah.
Kelemahan lain dari pelaporan transaksi keuangan partai adalah minimnya waktu audit yang dimiliki akuntan. Pihak akuntan publik hanya diberi kesempatan untuk mengaudit sebuah laporan pertanggungjawaban partai selama satu bulan, setelah pemilu usai.
“Hal ini tentu saja sangat kurang, karena luas daerah kita yang besar,” ungkap Yunus.
Belum lagi jika melihat jumlah akuntan publik kita yang terbatas. “Seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi kewenangan kepada akuntan publik untuk memeriksanya dari sekarang,” sambungnya.
Yunus juga mengatakan, seharusnya pengeluaran sebuah partai dibatasi, sehingga mereka tidak mencari uang secara jor-joran.(jri)