Pada saat tulisan ini dibuat, Badan Legislatif DPR tengah membahas draf RUU Perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 yang akan menjadi RUU hak inisiatif DPR.
Dalam upaya bersama memperbaiki sistem pemilihan umum dan penyelenggaraan pemilihan umum, yang merupakan substansi perubahan undang-undang tersebut, hasil penelitian Sarah Birch yang berjudul ”Electoral Systems and Electoral Misconduct”, (Comparative Political Studies, Vol 40, Nomor 12 Desember 2007), patut dipertimbangkan. Hasil penelitian tersebut berkesimpulan, ”Pemilihan umum yang diselenggarakan berdasarkan sistem pemilihan umum berwakil tunggal (single-member districts) menggunakan formula pluralitas ataupun mayoritas mempunyai peluang lebih besar menjadi obyek penyimpangan (electoral malpractice) daripada pemilihan umum yang diselenggarakan berdasarkan sistem pemilihan umum proporsional”.
Dua alasan diajukan atas pernyataan ini. Pertama, upaya memanipulasi pemilihan umum lebih menguntungkan calon dalam sistem pemilihan umum berwakil tunggal daripada dalam sistem pemilihan umum proporsional. Sebab, calonlah yang menjadi peserta dalam sistem pemilihan umum berwakil-tunggal.
Kedua, penyimpangan lebih mudah dilakukan dalam sistem pemilihan berwakil tunggal karena jumlah suara yang diperlukan untuk mengubah hasil pemilihan umum lebih kecil daripada dalam sistem pemilihan umum proporsional.
Sumber penyimpangan
Tulisan berikut menunjukkan bahwa sistem pemilihan umum proporsional (berwakil banyak) dengan sistem daftar terbuka (open list PR) juga sangat rentan terhadap berbagai bentuk penyimpangan pemilihan umum (electoral malpractice). Alasannya sama sebagaimana dikemukakan Sarah Birch tersebut.
Sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka yang diterapkan pada pemilu anggota DPR dan DPRD pada tahun 2009 tidak saja berwakil banyak (multi-member districts), tetapi juga mengadopsi tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak. Sistem pemilu seperti ini lebih mengedepankan upaya calon daripada partai untuk mencari suara sebanyak-banyaknya untuk dapat terpilih.
Sistem pemilu proporsional dengan tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak tidak saja memungkinkan setiap calon dengan mudah menghitung jumlah suara yang diperlukan untuk dapat ditetapkan sebagai calon terpilih, tetapi juga jumlah suara yang diperlukan tidak terlalu banyak. itu karena sistem pemilu seperti ini tidak mengharuskan calon mencapai suara terbanyak (mayoritas) untuk dapat terpilih, tetapi cukup dengan suara lebih banyak (plurality). Kedua faktor ini merupakan penyebab utama mengapa terjadi berbagai bentuk penyimpangan dalam pemungutan dan penghitungan suara pada Pemilihan Umum 2009.
Setidak-tidaknya terdapat lima jenis penyimpangan yang menyangkut pemungutan dan penghitungan suara pada Pemilu 2009. Pertama, jual-beli suara (vote buying) antara calon dan pemilih, baik secara individual maupun kolektif, langsung ataupun menggunakan perantara.
Kedua, pengalihan suara dari satu atau lebih calon kepada calon lain dari partai politik (parpol) yang sama dan di daerah pemilihan (dapil) yang sama. Jenis penyimpangan kedua ini dapat dibedakan menjadi dua modus. Pada modus pertama, pengalihan suara ini dilakukan berdasarkan persetujuan calon yang suaranya dialihkan atau dikurangi. Seorang calon setuju suaranya dikurangi atau dialihkan karena dua hal: jumlah suara yang dicapai tidak memungkinkan dia menjadi calon terpilih ataupun menjadi calon pengganti antarwaktu, serta menerima ganti rugi (atau ganti untung?) dari calon yang akan menerima tambahan suara sebagai pengganti dana kampanye yang sudah dikeluarkan. Modus kedua, pengalihan suara tidak sepengetahuan atau tidak berdasarkan persetujuan dari calon yang suaranya dialihkan atau dikurangi. Pengambilan suara dilakukan tanpa persetujuan calon pemilik suara karena jumlah suara yang dicapai calon tersebut memungkinkan dia menjadi calon terpilih atau setidak-tidaknya menjadi calon pengganti antarwaktu.
Ketiga, suara yang diterima secara langsung oleh partai politik dari pemilih (pemilih pada hari pemungutan suara tidak memberikan suaranya kepada calon, tetapi kepada parpol) dialihkan kepada satu atau lebih calon dari parpol yang sama di dapil yang sama. Jumlah suara ataupun kursi partai sama sekali tidak berubah. Adapun yang berubah hanya perolehan suara calon.
Keempat, pengalihan suara dari satu atau lebih calon dari parpol yang satu kepada satu atau lebih calon dari parpol lain dalam dapil yang sama dengan menggunakan perantara. Perantara ini dapat dibedakan dari asal perantara, yaitu politikus orang dalam, preman politik, dan anggota KPU kabupaten/kota. Calon yang akan menerima tambahan suara memberikan uang kepada calon yang suaranya diambil/dikurangi dalam jumlah yang disepakati bersama.
Kelima, jenis penyimpangan kedua, ketiga, dan keempat hanya dapat terjadi karena berkolusi dengan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan/atau Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Kolusi ini kemungkinan besar terjadi karena satu atau lebih faktor berikut. Pertama, calon tertentu diduga memberikan uang dalam jumlah yang memadai kepada ketua dan anggota KPPS dan/atau ketua dan anggota PPK. Kedua, pengalihan suara itu dianggap masalah internal partai untuk penyimpangan kedua dan ketiga. Sebagian KPPS dan PPK tampaknya dapat ”diyakinkan” oleh sejumlah calon bahwa pengalihan suara tersebut sebagai masalah internal partai karena hanya menyangkut pengalihan suara antarcalon dari partai dan dapil yang sama.
Penyimpangan sistem
Dampak lain dari sistem pemilihan umum seperti ini bukan berupa pelanggaran hukum, melainkan penyimpangan terhadap sistem pemilihan umum proporsional. Pertama, biaya kampanye yang dikeluarkan amat sangat besar karena yang melakukan kampanye bukan 38 parpol peserta pemilu (44 di Aceh), melainkan puluhan ribu calon di semua dapil, baik DPR maupun DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Kalau jumlah dapil DPR sebanyak 77, dapil DPRD provinsi 215, dan dapil DPRD kabupaten/kota sekitar 1.800—sehingga seluruhnya sekitar 2.100—dan kalau setiap dapil rata-rata 8 kursi (sehingga jumlah calon setiap dapil rata-rata 10 orang karena setiap partai dapat mengajukan calon 120 persen dari jumlah kursi yang dialokasikan untuk setiap dapil), jumlah calon yang berkampanye mencapai sekitar 21.000 orang. Kalau setiap calon rata-rata mengeluarkan sekitar Rp 1 miliar untuk berbagai bentuk kampanye, dana kampanye yang dikeluarkan para calon mencapai Rp 21.000 miliar alias Rp 21 triliun.
Kedua, sistem pemilu proporsional dengan tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak tersebut cenderung memperlemah disiplin anggota DPR dan DPRD kepada partai/fraksinya karena menganggap dirinya terpilih bukan karena partai, melainkan karena popularitas dan/atau upaya sendiri. Kalau fenomena yang terakhir ini terjadi, bukan tidak mungkin ”partai” akan muncul dalam partai politik.
Pertanyaannya adalah apakah berbagai bentuk penyimpangan tersebut semata-mata karena sistem pemilihan umum yang diterapkan ataukah juga karena kecenderungan perilaku partai dan politisi serta perilaku memilih?
Fenomena pragmatisme
Pengalaman Brasil di Amerika Selatan mungkin dapat digunakan sebagai perbandingan. Negara ini juga mengadopsi sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar calon terbuka (menggunakan tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak). Berbagai bentuk penyimpangan yang disebut di atas juga terjadi, kecuali pada Partai Pekerja yang kadernya menjadi presiden serta menguasai DPR dan Senat secara pluralitas tiga periode berturut-turut.
Berbagai bentuk penyimpangan tersebut tak terjadi pada Partai Pekerja. Itu karena sebagai gerakan pada masa militer menguasai Brasil—kemudian dikembangkan menjadi partai politik pada era demokratisasi—Partai Pekerja memiliki ideologi dan karena itu arah kebijakan jelas. Dari puluhan partai politik di Brasil, hanya Partai Pekerja yang memiliki basis sosial yang solid pada akar rumput; paling banyak warga negara Brasil yang mengidentifikasikan diri secara politik dengan Partai Pekerja dan para kader Partai Pekerja yang menjadi anggota DPR dan Senat memiliki disiplin partai yang tinggi (Lihat Barry Ames dan Timothy J Power, ”Parties and Governability”, dalam Paul Webb dan Stephen White, Eds, Party Politics in New Democracies, Oxford, USA: Oxford University Press, 2009).
Oleh karena itu, jawaban yang paling mendekati kebenaran atas pertanyaan di atas tampaknya bukan saja karena sistem pemilihan umum dengan dua alasan tersebut, melainkan juga karena fenomena pragmatisme yang merasuki hampir semua parpol di Indonesia (khususnya yang memiliki kursi di DPR dan DPRD) dan perilaku ”rasional” sebagian pemilih.
Sejumlah calon menilai ”lebih menguntungkan dan lebih memiliki kepastian untuk terpilih dengan cara membeli suara pemilih dan/atau membayar calon lain dari partai yang sama dan membayar panitia pemilihan untuk mendapatkan suara daripada dengan cara kampanye sesuai dengan ketentuan”. Karena politisi jarang memenuhi janjinya kepada konstituen, sebagian pemilih menjual suaranya kepada calon dengan imbalan uang tertentu dengan alasan ”lebih menguntungkan menerima uang sekarang, walau dalam jumlah tidak terlalu besar, tetapi pasti daripada dijanjikan akan menerima dalam jumlah besar tetapi nanti yang belum tentu ditepati”.
Singkat kata, sistem pemilihan umum proporsional dengan tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak menimbulkan berbagai bentuk penyimpangan, baik berupa pelanggaran undang-undang maupun penyimpangan terhadap sistem proporsional. Hal ini terjadi karena sistem ini diterapkan dalam masyarakat yang partai politiknya dirasuki pragmatisme dan para pemilihnya tidak percaya kepada janji politisi.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.