INILAH.COM, Jakarta – Tema dan isu kampanye yang diangkat para capres-cawapres makin beragam dan mengalami diferensiasi yang tajam. Mulai dari isu agama sampai gaya siulan anjing pun dimanfaatkan untuk saling menyerang pihak lawan. Mana yang paling efektif?
Keragaman tema dan isu terjadi karena perbedaan gaya, gagasan, dan metode yang digunakan masing-masing tim dalam upaya mereka untuk meraih kepercayaan publik. Untuk pertama kalinya, dalam diskursus pilpres kali ini muncul istilah kampanye bergaya siulang anjing.
Pengajar FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi, menilai kampanye SBY-Boediono sebagai dog whistle politics (politik siulan anjing). Sementara Mega-Prabowo memakai kampanye bergaya ‘datang dan dobrak’ dengan bahasa rakyat jelata, berfokus isu mengatasi ‘kapitalisme tak terkendali’.
Sedangkan JK-Wiranto memakai model kampanye ‘serangan balik’, dengan adagium ‘lebih cepat lebih baik’ sekaligus ‘menyodok dan menelanjangi’ kritik dari lawan politiknya. Misalnya, saat diserang SBY dengan istilah ‘kapitalisme berambut hitam’, maka JK langsung balik menyerang dengan pembelaan atas kaum pengusaha bumiputera dan serangan atas kapitalisme global.
Pasangan SBY-Boediono dinilai Airlangga menggunakan bahasa-bahasa normatif yang mempesona publik. Tak heran bila pasangan ini mengandalkan retorika-retorika dan slogan populis, meskipun pesannya ditujukan untuk menarik perhatian para kapitalis internasional maupun dalam negeri agar mendukung pasangan tersebut.
“Kampanye SBY-Boediono lebih merupakan model siulan anjing, yaitu mengirimkan pesan-pesan tertentu yang hanya bisa ditangkap kelompok-kelompok strategis yang hanya beraliansi dengan kepentingan-kepentingan politik mereka,” tuturnya.
Airlangga mencontohkan, saat SBY-Boediono mengemukakan isu mengenai pendidikan tinggi. “SBY-Boediono mengedepankan kualitas, bukan akses. Padahal pendidikan itu persoalan akses bagi semua lapisan masyarakat,” ujarnya.
Artinya, ujar Airlangga, SBY-Boediono mengedepankan penerimaan mahasiswa berdasarkan harga, sehingga negara lepas tangan untuk melakukan pembiayaan terhadap pendidikan tinggi.
Dalam isu ini, psangan Mega-Prabowo langsung menyerang atau melakukan ofensif atas kebijakan melanjutkan utang dan ekonomi neoliberal oleh SBY-Boediono. Ekonomi neoliberal oleh SBY-Boediono diterapkan untuk mendapatkan dukungan dari para kapitalis nasional dan global.
Namun para analis yang kritis, seperti Syamsul Hadi dari FISIP UI,
melihat hal tersebut sebagai pengkhianatan terhadap mandat demokrasi dan konstitusi. Karena dalam konteks demokrasi, pemimpin tidak hanya mendapatkan legitimasi, tetapi juga memiliki kewajiban untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan mandat kepentingan masyarakat pemilihnya.
“Jika seorang presiden ingkar janji dan gagal memenuhi aspirasi rakyat, itulah pengkhianatan atas mandat demokrasi,” kata Syamsul.
SBY bertekad memberikan ruang yang begitu luas dan dominan kepada pasar untuk mengelola kepentingan publik. Padahal seharusnya itu adalah domain negara.
Para analis ekonomi-politik melihat, ada diskrepansi dan keterpisahan antara kebijakan neoliberal dan program-program yang ditawarkan SBY, dengan amanah konstitusi itu sendiri. “Inilah sebagian dari banyak alasan yang memungkinkan pilpres berjalan dalam dua putaran,” kata Dr Syamsul Hadi. [P1]
Source : inilah.com