Sebagai sebuah bangsa, meskipun pakaian tampak gemerlap, saat ini tubuh dan nurani kita begitu lemah dan rapuh. Pada pengujung akhir tahun 2011 ini, hati kita dikoyak lagi oleh kesedihan beruntun dan mendalam.
Setelah gelombang keresahan dan kekecewaan di Papua dan Ambon, kini terjadi kepedihan di Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan) serta Bima (Nusa Tenggara Barat). Jangan menghitung banyaknya jumlah korban, satu nyawa pun tidak pantas terjadi di Republik yang kini mengklaim diri demokratis, apalagi kalau isu yang menyebar selama ini benar bahwa kekerasan itu melibatkan aparat keamanan.
Jika kabar tersebut benar, Indonesia kini sejatinya tak lebih dari benda mati. Ia sekadar gugusan ribuan pulau di garis khatulistiwa, diapit Benua Asia dan Australia serta Lautan Hindia dan Lautan Pasifik, serta koordinat fisik maupun numerikal suku dan produk kesenian lainnya. Indonesia bukan lagi, mengutip Daoed Joesoef, sebagai sebuah spirit, sebuah usaha, dan gerak transisi ke arah penyempurnaan di mana setiap warga negara seharusnya hidup bahagia. Indonesia kini adalah Indonesia yang terasa tanpa roh.
Empat pilar
Untuk memahami keadaan Indonesia setahun terakhir ini, tidak perlu seorang akademisi bergelar doktor. Seorang teman yang sederhana, Sihabuddin, yang menjadi ketua rukun tetangga, maupun Pak Paidi yang pensiunan pegawai rendahan pun paham dengan gerak Tanah Air saat ini. Ketika mengobrol dengan penulis pada tengah malam, dengan bahasa sederhana mereka mengatakan bahwa masyarakat kini terbelah lebih ekstrem. Mereka yang kaya umumnya menjadi kemaruk (konsumtif dan hedonis), sebaliknya yang miskin cenderung menjadi galak (radikal), setidaknya dalam pemikiran.
Jika pandangan tersebut dijadikan pijakan, dalam ruang yang lebih spesifik, konstruksi Indonesia sekarang setidaknya disangga oleh empat pilar yang terhubung secara lemah satu sama lain. Mereka adalah pemerintah, pelaku usaha, masyarakat madani, dan massa rakyat (wong cilik). Karena pilar-pilar tidak tersambung kokoh, situasi menjadi begitu berisik tahun ini.
Pemerintah selalu menganggap sudah bekerja keras dengan seluruh klaim keberhasilannya, seperti pertumbuhan ekonomi serta pengurangan penganggur dan kemiskinan. Pelaku usaha umumnya mengatakan capaian di bidang ekonomi tahun ini, seperti tahun-tahun lalu, lebih banyak ditentukan oleh mereka, termasuk oleh industri rumah tangga dan sektor informal. Mereka bergerak sendiri. Tidak ada ”insentif” berarti dari pemerintah, termasuk pembangunan infrastruktur.
Kelompok masyarakat sipil, terutama kubu kritis, mengamini pandangan para pelaku usaha tersebut. Pada umumnya mereka menilai pemerintah terlalu banyak mengeluh. Pada awal 2011, misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluh soal gajinya yang tidak pernah naik selama tujuh tahun. Pernyataan itu memicu perdebatan publik dan mencuatkan keraguan akan kepemimpinannya. Gaji Presiden sebesar Rp 1,1 miliar per tahun sebenarnya sudah tinggi karena masuk peringkat ke-16 kelompok pemimpin dunia.
Ranah politik menjadi begitu berisik setiap kali isu perombakan kabinet menebar ke permukaan. Semua partai koalisi pemerintah tiba-tiba melakukan manuver politik agar posisi mereka aman, syukur-syukur kalau bisa menambah kursi menteri. Fenomena tersebut diperparah oleh proses pemanggilan calon menteri yang sarat dramaturgi sehingga menjengkelkan masyarakat sipil kritis, karena sinyal yang dikeluarkan politisi itu tak lebih dari syahwat kekuasaan demi mempertahankan hak-hak istimewa ekonomi dan politik daripada bekerja demi rakyat.
Kejengkelan mereka menjadi semakin akut sehingga melahirkan kelompok-kelompok bebas yang sudah tak tahan melihat bagaimana negeri ini dijalankan. Titik kulminasi kejengkelan terjadi ketika Nazaruddin dari persembunyiannya mengungkapkan keterlibatan pimpinan Partai Demokrat dalam sejumlah kasus korupsi. Ini mengkristalkan niat sebagian aktivis dan kelompok kritis untuk berkehendak melengserkan Presiden atau setidaknya memaksanya melempar handuk (mundur). Semua itu terungkap gamblang dalam forum-forum diskusi.
Secara hipotesis, gerakan perlawanan itu tidak akan kempis kecuali pemerintah memenuhi janji-janji politiknya kepada rakyat, seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Suka atau tidak, kasus Mesuji dan Bima kini kembali menjadi perekat menguatnya gerakan antipemerintah. Dengan demikian, tampaknya tahun 2012 akan dibuka dengan tirai kebisingan politik lagi.
Kultur strategis
Dengan seluruh kebisingan politik itu, hebatnya ekonomi Indonesia tetap dinamis dan kelas menengah terus tumbuh sehingga Republik tampak cemerlang di mata internasional. Ini menunjukkan, dalam alam bawah sadar bangsa Indonesia, baik yang pro maupun kritis kepada pemerintah, semua mempunyai respons kolektif yang bulat. Sebuah tekad utuh yang bukan sekadar untuk bertahan, melainkan juga tumbuh, yang dalam bahasa Habermas disebut sebagai subsistem yang menghasilkan kesatuan keputusan bersama. Inilah yang disebut kultur strategis.
Sayang sekali, para pengambil kebijakan miskin pemahaman mengenai kultur strategis tersebut. Akibatnya, bangsa Indonesia gagal membangun mimpi bersama. Politik menjadi berisik dan aparat keamanan menembak rakyatnya.
Sukardi Rinakit Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Source : Kompas.com