Metrotvnews.com, Jakarta: Bumi Pasundan, tak sekali dua menyuguhkan kejutan. Terkhusus, ihwal komunikasi politik jelang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2018.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, ditinggal Partai Golongan Karya (Golkar). Sementara Walikota Bandung Ridwan ‘Emil’ Kamil, malah ramai pinangan.
Belum lagi, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar yang tetap kekeh bakal mendapat restu dari pucuk pimpinan Partai Gerindra, meski di sisi lain, dia juga melirik peluang dari PDI Perjuangan.
Yang paling baru, ada sang istri petahana Netty Heryawan. Hijabnya yang berwarna merah dalam satu pertemuan, belakangan amat ramai diberitakan.
Aktivitas politik Jabar terlihat begitu luwesnya. Nyaris tak ada lagi batas-batas serupa ideologi dan orientasi politik yang biasanya menjelma batu sandungan.
Atau jangan-jangan, itu sinyal pragmatisme politik yang mulai terang-terangan menggejala di Jabar. Tak ada yang lebih penting, dibanding kemenangan dan meraih kekuasaan.
Wajah lain ideologi parpol
Pakar pemasaran politik Firmanzah, dalam Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009 (2010) mengatakan, kecurigaan menguatnya pragmatisme dalam perpolitikan Indonesia sudah tercium sejak 2004.
Gambaran ini, begitu kentara ketika melihat singgungan kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis religius yang saling membentuk ikatan-ikatan demi meraih dukungan dari konstituen masing-masing kelompok.
“Karenanya, poros-poros ideologi di tahun 2004 yang membawa agenda politik yang spesifik, bisa dikatakan tidak ada. Kepentingan memenangkan Pemilu lebih menjadi agenda politik paling utama,” tulis Firmanzah.
Atau sebaliknya, dalam bukunya yang lain, yakni Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi (2008), Firmanzah menyebut, sebab keinginan mutlak berkuasa itu, maka ideologi politik pun rela digadaikan.
“Sebuah partai sampai mau membangun koalisi dengan partai lain yang jelas-jelas berseberangan,” kritik Firmanzah.
Pembentukan yang sedikit banyak mengenyampingkan ideologi politik ini, sebut dia, menunjukkan bahwa koalisi di Indonesia kian tak berpola. Khawatirnya, koalisi yang ada semata-mata lahir atas dorongan tujuan jangka pendek.
“Artinya, ketika kepentingan dan tujuan politik sudah tidak sama, koalisi tersebut biasanya pecah. Lalu, masing-masing pihak bisa berkoalisi dengan pihak lain yang dirasa dapat membantu dalam mencapai tujuan politiknya,” tulis Firmanzah.
Namun memang, membaca arus pergerakan politik tak boleh cuma bermodal kacamata tunggal. Toh, Presiden Soekarno pernah bilang, apa yang sudah disepakati secara politik, jangan pernah diperdebatkan secara estetis.
Jabar, tampaknya sedang mementaskan itu semua. Jika Partai NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terlihat mantap atas pilihannya sejak awal. Maka yang menarik diamati adalah PDI Perjuangan yang merupakan representasi kalangan nasionalis dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kerap mendaku saluran politik kelompok Islam, keduanya sama-sama bertingkah sangat dinamis.
Begitu juga, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat yang juga belum menentukan ke mana akan memasrahkan dukungan. Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), diserang galau, lantaran jatah Bakal Calon Wakil Gubernur (Bacawagup) terancam usulan Partai Golkar.
Merah, biru, kuning, putih, dan hijau, berbaur. Mereka, sedang menghadirkan tebak-tebakan yang cukup jarang tertangkap prediksi dan bayangan.
Beda peta di Jabar
Mayoritas penduduk Jabar beragama Islam. Hitungannya, sampai 98% dari jumlah total 47,3 juta jiwa.
Jabar, tercatat memiliki 180 ribu masjid dan 4.772 pondok pesantren. Dalam Sensus 2010, tertulis pula sebanyak 220 ribu orang tokoh dan pendakwah tersebar di Tanah Pasundan. Mereka, terdiri dari 150.927 kiai, 35.495 ribu ulama, serta 36.201 mubalig.
Intinya, tingkat religiusitas warga Pasundan tentu tak bisa disepelekan. Tapi, dalam percaturan politik, hubungan antara ideologi dan penyaluran suara terbilang gampang-gampang susah ditebak.
Ambil misal pada Pemilu 1955, parpol representasi Islam, yakni Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) mampu meraup sebesar 26,5% suara. Tapi, di posisi kedua, malah diisi Partai Nasional Indonesia (PNI), bukan parpol Islam sejenisnya.
Peneliti bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris dalam Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (2014) menjelaskan, perolehan semacam itu menunjukkan bahwa kesinambungan preferensi pemilih yang bersifat ideologis dan aliran tidak terjadi di Jabar.
“Di Jawa Barat, yang merupakan salah satu basis Masyumi pada Pemilu 1955, gagal dimanfaatkan secara signifikan baik oleh Partai Bulan Bintang (PBB), maupun PAN yang dianggap kelanjutan simbolis Masyumi,” tulis dia.
Belum lagi, kata Syamsuddin, ketika membaca hasil Pemilu Legislatif 2004. Dari sana, naga-naganya, minat Muslim untuk memilih parpol Islam kian melorot.
“Hal ini menunjukkan ada kesenjangan antara realitas sosiologis dan realitas politik,” tulis Syamsuddin, masih dalam buku yang sama.
Pun jika diakurkan dengan perolehan kursi pada Pemilu 2014, PDI Perjuangan masih ada di depan dengan perolehan 20 kursi di parlemen. Disusul Partai Golkar (17), barulah muncul nama PKS (12).
Artinya, aliran dan ideologi politik di Jabar tak melulu bisa jadi patokan. Jangan kan Deddy Mizwar berlabuh ke PDI Perjuangan, PKS yang amat jarang-jarang pun, bukan tidak mungkin bisa turut mesra berangkulan.
Alhasil, selamat datang di pentas seru perpolitikan Jabar. Soal apakah keseruan itu berasal dari keluwesan atau gejala pragmatismenya; memang buyar.
Source: Metro Tv