Jakarta, Kompas – Perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II saat ini merupakan bagian upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengokohkan legitimasi kekuasaannya. Tidak ada perubahan pola perombakan kabinet yang dilakukan oleh Presiden, bahkan sejak penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu I lalu.
Menurut peneliti senior The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR, Selasa (18/10), Presiden semestinya mengokohkan kekuasaan dengan dukungan rakyat berbasis kerja keras atau kinerja pemerintahan. Jika hal itu dilakukan, citra Presiden otomatis bakal naik.
Namun, yang dilakukan Presiden saat ini masih sama, yakni dukungan vertikal dari rakyat masih berbasis politik pencitraan sebagaimana terlihat dari dramatisasi audisi calon menteri dan wakil menteri. Sementara dukungan horizontal dari parlemen dan partai politik masih berbasis kompromi atau negosiasi yang cenderung transaksional.
”Dukungan dari parlemen berbasis konstitusi. Presiden sejatinya kuat dalam konstruksi sistem presidensial,” ujar Hanta.
Hanta menyebutkan, yang terjadi dalam perombakan kabinet sekarang ini lebih pada kalkulasi kekuatan partai di parlemen dan perimbangan politik berupa representasi partai atau daerah. Selain itu, juga lebih pada evaluasi kedisiplinan (manuver) partai di koalisi dan dinamika internal (faksionalisasi) di partai koalisi.
Presiden selalu ragu dan sulit mengganti menteri dari parpol atau representasi daerah. Presiden juga hanya berani mengganti menteri dari parpol yang posisinya tak kuat lagi atau tak didukung lagi partainya itu.
”Sulit ada perubahan signifikan soal kinerja. Kalau semangatnya kinerja dan memenuhi harapan publik, pada reshuffle kali ini, instrumen utama mestinya evaluasi UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) dan Pakta Integritas,” ujarnya.
Pengajar di Pascasarjana Universitas Indonesia, Abdul Aziz SR, juga menilai, pertimbangan politik mendominasi dalam perombakan kabinet. Meskipun wakil menteri mencerminkan kalangan profesional, pejabat karier, dan bukan politisi, tetap saja kelihatan bahwa pengangkatan mereka lebih dominan pertimbangan politik.
”Ada indikasi Presiden ragu dengan kapasitas menteri-menterinya, tetapi tidak leluasa memilih figur yang mumpuni karena ada tekanan dari partai politik mitra koalisinya sehingga mengangkat wakil menteri,” katanya.
Mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto menilai, perombakan kabinet saat ini tidak akan efektif meningkatkan kinerja. Sebagai contoh, penambahan wakil menteri dinilai tidak akan memengaruhi kinerja kabinet karena wakil menteri tidak bisa membuat kebijakan.
”Pengambilan kebijakan tetap membutuhkan persetujuan menteri yang notabene adalah orang-orang partai yang kebanyakan bukan profesional di bidangnya,” kata Endriartono dalam seminar di Universitas Sebelas Maret Solo, Jawa Tengah.
Tidak efektif
Di Solo, Senin, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengatakan, efektivitas pemerintahan tidak ditentukan oleh jumlah orang dan pembagian struktur. Berdasarkan pengalaman Megawati, efektivitas pemerintahan ditentukan, paling tidak, pertama, ada orang yang tepat mengisi jabatan di pemerintahan. Kedua, soal manajemen. Ketiga, pemahaman mengenai permasalahan dan kemudian pemilihan prioritas untuk mengefektifkan kerja.
Dampak langsung dari penambahan orang, seperti menambah posisi wakil menteri, lanjut Megawati, adalah bertambahnya beban pengeluaran negara. Paling tidak harus ada anggaran untuk membayar gaji dan menyediakan fasilitas bagi mereka.
Menurut Abdul Aziz, pengangkatan wakil menteri akan berfungsi dengan baik jika dilengkapi dengan tugas, pokok, dan fungsi yang jelas. Jika tidak, akan lebih banyak memperpanjang birokrasi yang akhirnya malah menjadikan pemerintahan tidak efektif. (dik/nwo/ano/eki)
Source : Kompas.com