Jakarta, Kompas – Media massa tidak mempunyai kewajiban memuat berita kampanye partai politik. Hal ini merupakan bagian dari kebebasan pers. Artinya, undang-undang yang meminta media massa memberikan kesempatan yang sama, baik berita maupun iklan, kepada semua parpol, selain sia-sia, juga tak masuk akal.
Demikian diungkapkan Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Palar Batubara serta Direktur Eksekutif Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Yudi Latif, Kamis (24/4), secara terpisah di Jakarta.
Pasal 91 Ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, media cetak dan penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 Ayat 3 UU itu menegaskan, media cetak dan penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.
Pasal 97 UU No 10/2008 juga menyatakan, media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu.
”Aturan semacam itu bukan saja tidak adil dalam era demokrasi, tetapi pembuat aturan juga tidak mengenal esensi dari media,” ujar Palar.
Ia menambahkan, ”Terlampau jauh UU Pemilu mencampuri kerja pers kalau ide untuk memberikan kesempatan yang sama itu diterjemahkan sebagai luasan milimeter di media cetak atau durasi di media elektronik.”
Apalagi, menurut Palar, pemerintah tidak mempunyai alat yang bisa dipakai untuk mengukur kesempatan yang sama itu. Artinya, aturan semacam itu sia-sia saja.
”Media adalah bisnis yang harus tunduk pada mekanisme pasar. Media harus membuat berita yang dinilai menarik bagi pembacanya. Jadi, jika juru kampanye suatu partai tidak menarik atau tidak ada isu yang bisa menjual, bisa saja tidak dikutip,” ujarnya.
Yudi menambahkan, pers dalam bekerja memang harus tunduk kepada kode etik pers. Namun, tidak ada kewajiban bagi pers untuk harus memberitakan soal pemilu, apalagi ditambah kewajiban harus memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu.
”Jika itu sebatas imbauan moral agar media sebagai salah satu pilar demokrasi bisa mendorong kompetisi yang sehat, itu boleh saja. Tetapi, kewajiban memberikan pemberitaan yang sama, itu tak akan bisa,” ujarnya.
Tidak hanya mewajibkan, UU No 10/2008 juga menegaskan adanya sanksi bagi media massa yang melakukan pelanggaran. Pasal 99 UU itu menyebutkan, sanksi bisa berupa teguran tertulis; penghentian sementara acara yang bermasalah; pengurangan durasi pemberitaan atau iklan; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan untuk waktu tertentu; serta pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau izin penerbitan media massa cetak.
Jelaskan secara rinci
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti di Jakarta, Kamis, menuturkan, kebimbangan media massa terhadap sanksi karena tidak memberitakan kampanye secara adil dan seimbang tak perlu terjadi jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan secara rinci aturan kampanye dalam UU No 10/2008. ”Peraturan KPU harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan adil dan seimbang itu,” katanya.
Kejelasan aturan kampanye di media massa diperlukan karena meski UU No 10/2008 mengatur secara rinci, UU itu tidak mengaturnya secara tegas.
Dalam pembuatan peraturan, KPU pun harus memahami kewenangannya untuk mengatur pemberitaan dan iklan di media massa serta wilayah pasar dan kebebasan pers. Karena itu, KPU perlu berkoordinasi secara intensif dengan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia tentang pembatasan wilayah itu.
Ray juga menambahkan, peraturan KPU yang mengatur kampanye harus segera dibuat karena masa kampanye akan dimulai dua bulan lagi.
Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, Kamis, mengharapkan semua masalah yang terkait pemberitaan Pemilu 2009 di media cetak sebaiknya diselesaikan dengan UU No 40/1999 tentang Pers dan bukan UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebab, UU Pers dibuat untuk mengatur segala sesuatu yang terkait dengan pers. ”Dewan Pers akan menemui KPU untuk membahas masalah ini. Kami akan meminta UU Pers yang dipakai untuk menyelesaikan masalah pemberitaan saat pemilu,” ujarnya.
Menurut Abdullah, ketentuan tentang pemberitaan yang adil dan seimbang, seperti ditulis dalam UU No 10/2008, tidak dapat diartikan semua parpol harus mendapatkan liputan dalam jumlah dan ukuran yang sama besar di media massa. ”Adil dan seimbang harus dilihat dari segi nilai berita. Itu merupakan wewenang ruang redaksi. Redaksi dapat menyampaikan sebuah berita secara panjang jika memang dinilai punya nilai berita, demikian sebaliknya,” paparnya.
Pengertian ini perlu dipahami karena setiap parpol berikut tokohnya memiliki nilai berita berbeda. ”Jadi, harap diterima jika ada aktivitas parpol yang tak diberitakan karena dianggap tidak punya nilai berita. Ini karena, misalnya, parpol itu kurang memiliki pengaruh atau kegiatannya kurang bermanfaat bagi masyarakat luas,” papar Abdullah.
Jika ada parpol mengeluhkan pemberitaan di suatu media cetak, hal itu harus disampaikan kepada Dewan Pers. Dewan Pers yang akan menilai berita itu.
Adapun keadilan dalam iklan, kata Abdullah, harus dimaknai bahwa media massa memberikan tarif yang sama kepada parpol untuk beriklan. (MAM/MZW/NWO)
Tulisan ini dikutip dari Kompas Cetak, Jumat, 25 April 2008 | 01:41 WIB
Hello admin How are You ? I like your post and i want to stumble it for my friend but i cant see your social bookmark widget in this blog. Please help me admin Thank You