Situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang memprihatinkan akhir-akhir ini mengakibatkan masyarakat hampir kehilangan kepercayaan kepada penyelenggara negara. Akibat perilaku kalangan birokrat dan politikus yang menguasai berbagai institusi negara, penyelenggaraan negara tampak kehilangan arah.
Lebih dari tiga perempat responden menyatakan, kepercayaan mereka terhadap pemerintahan semakin lemah. Hal ini didasari oleh
ketidakpuasan mereka terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Pandangan ini terungkap dalam jajak pendapat Kompas di 12 kota besar Indonesia pada 5-7 Oktober 2011.
Penilaian negatif terhadap penyelenggara negara itu dipicu perilaku politikus, birokrat, ataupun aparat penegak hukum yang semakin memperlihatkan sikap dan perilaku yang jauh dari tujuan kesejahteraan masyarakat, bahkan kemanusiaan. Terungkapnya kasus-kasus korupsi terkait Bank Century, mafia hukum, mafia pajak, dan kini Badan Anggaran DPR tak pelak menjejali perspektif publik dengan semata pandangan negatif.
Terkait perilaku korupsi, hampir 100 persen responden sepakat, saat ini skala korupsi sangat masif di semua lembaga negara, termasuk pula dugaan mayoritas responden terhadap korupsi di lingkaran dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Upaya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan dinilai tidak mampu memutus rantai korupsi tersebut. Alih-alih membuat jera koruptor, upaya KPK justru menuai perilaku ”saling serang” di antara anggota lembaga-lembaga negara itu. Contoh mutakhir adalah perselisihan antara KPK dan Badan Anggaran DPR. Pemanggilan oleh KPK terhadap sejumlah anggota Badan Anggaran menyangkut dugaan korupsi direspons dengan usulan anggota DPR untuk membubarkan KPK. Watak ”predatoris” anggota DPR tampil telanjang di sini.
Menyikapi peristiwa ini, tiga perempat responden tegas menyatakan menolak usulan pembubaran KPK. Responden yakin bahwa usulan tersebut semata-mata dimotivasi keinginan DPR untuk mencegah upaya membongkar kasus korupsi dan bukan untuk memperbaiki KPK.
Demokrasi prosedural
Tecermin anggapan umum responden bahwa kondisi demokrasi negeri ini relatif lebih baik dibandingkan dengan masa Orde Baru. Hal ini terbukti dengan menguatnya elemen-elemen demokrasi, seperti pemenuhan hak-hak sipil dan politik, kebebasan berpendapat, pemilihan umum yang relatif lancar, dan penguatan masyarakat sipil.
Namun, telaah lebih jauh menunjukkan, praktik demokrasi ini sesungguhnya baru sebatas prosedural, belum mampu menyentuh ranah substansi. Demokrasi dibangun di atas fondasi kebebasan individual, pembedaan ruang publik dan privat, serta perluasan ruang privat pada ranah sosial ekonomi.
Hal ini berjalan seiring dengan pelepasan peran negara di berbagai wilayah sosial ekonomi dalam kaitan integrasi dengan rezim pasar bebas. Konsekuensinya, pemahaman terhadap demokrasi tidak berkaitan dengan keadilan sosial dan partisipasi intens warga negara dalam mewujudkannya.
Berbagai contoh bisa dipaparkan. Pemilu yang disebut-sebut berlangsung bebas sejatinya sangat kental bernuansa politik uang dan kekuatan kuasa modal menggunakan aset-aset negara menopang kelangsungan kekuasaan. Desentralisasi kekuasaan yang dibungkus dalam kebijakan otonomi daerah pun lebih banyak memelihara penguasa lama ketimbang memunculkan alternatif pemimpin yang kreatif dan cerdas. Belum lagi praktik diskriminatif dan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas yang terus berlangsung, baik yang diam-diam maupun yang terang benderang.
Di tengah kondisi tersebut, pilar demokrasi, seperti partai politik dan DPR, justru bersalin rupa menjadi kekuatan politik yang hanya menjadi pemburu rente politik. Kekecewaan terhadap praktik dari elemen-elemen demokrasi tersebut membuat separuh lebih responden (56,7 persen) pesimistis bahwa sistem kenegaraan yang ada akan mampu membawa bangsa Indonesia keluar dari berbagai persoalan yang dihadapi.
Basis sosial rapuh
Dalam sistem demokrasi yang dipraktikkan pada level prosedural semata, ikatan-ikatan solidaritas kolektif di tingkat masyarakat menjadi sangat rapuh. Hal ini terjadi karena basis ikatan tersebut ditopang kepentingan sempit dan jangka pendek. Hal ini bisa dicermati dari tumbuh suburnya kelompok-kelompok yang digerakkan oleh ikatan primordial dan fundamentalisme sempit berkelindan dengan kekuatan politik untuk mengamankan kekuasaan.
Komunitas-komunitas yang sesungguhnya berjuang untuk kemaslahatan masyarakat dan keadilan sosial belum terhimpun menjadi kekuatan yang solid. Gerakan buruh, misalnya, masih terfragmentasi. Organisasi mahasiswa atau pemuda dininabobokan dan disekat dengan berbagai koridor ekonomi sistem pendidikan.
Situasi ini cukup disadari sebagian publik. Separuh lebih responden (58,4 persen) menyatakan bahwa saat ini tidak ada konsolidasi elite politik yang dibentuk untuk memperbaiki situasi bangsa yang karut-marut. Belum muncul sosok pemimpin kuat yang mampu mengubah keadaan. Hal ini tampaknya menjadi peringatan bahwa udara segar demokrasi yang terus dikumandangkan pasca-1998 sebetulnya masih sebatas udara pengap di gua sempit reformasi.
(Litbang Kompas)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.