LHOKSEUMAWE – Konflik kepentingan elit mengenai Pilkada Aceh semakin meluas. Jadwal tahapan terbaru belum jelas. Perkembangan terakhir, Panitia Khusus IV Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengusulkan pembekuan Komisi Independen Pemilihan Aceh.
Apa dampak terhadap masyarakat akibat ketidakjelasan Pilkada Aceh? I.I. Pangeran dari The Atjeh Post mewawancarai Teuku Kemal Fasya, pengamat politik dari Universitas Malikussaleh, Kamis (22/9). Berikut petikannya:
Pansus DPRA mengusulkan pembekuan KIP. Bagaimana Anda melihat ini?
Jika DPRA melakukan pembekuan KIP, jelas DPRA melakukan pelanggaran konstitusi, karena KIP lembaga negara otonom yang tidak boleh dikooptasi siapa pun. Kata independensi dari nama KIP menunjukkan ia harus mampu menjalankan fungsi tanpa intervensi lembaga lain, termasuk DPRA.
Kenyataan selama ini, bukankah KIP terkesan diintervensi?
Ya, KIP selama ini sering bekerja di bawah tekanan. Sayangnya sedikit saja yang diketahui publik tentang tekanan itu. Saya mengetahui situasinya karena mereka menceritakan masalah yang ada. Saya sempat sarankan mengapa tidak dipublikasi? Kesannya mereka masih menjaga perasaan DPRA. Namun terlepas dari itu seharusnya ada tatakrama hubungan antarlembaga dan pemerintah yang harus dijaga baik. Intervensi, intimidasi, dan provokasi bukan bagian dari logika hubungan antarlembaga negara.
Jika tidak ada peringatan, sikap intervensi ini akan keterusan, dan jadi tradisi bernegara dan berpemerintahan yang buruk.
Elit atau aktor-aktor politik di Aceh terus saja mempertahankan prinsip masing-masing dengan selalu bicara mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Bagaimana sebenarnya?
Itu kan klaim. Pada dasarnya aktor politik itu hanya mengabdi pada kepentingan primordial atau konsituennya. Ini yang tidak dipahami, seolah-olah setelah dipilih langsung oleh rakyat ia bisa melakukan apapun dan mengatasnamakan rakyat. Ini bisa menjadi manipulasi politik. Rakyat juga harus mengontrol elit. Situasi yang kacau selama ini menunjukkan rakyat kurang intensif dalam berpartisipasi mengingatkan elit. Dalam banyak situasi, elit itu tercerabut perilaku dan visi politiknya dari rakyat mayoritas. Paling ia hanya berbicara bagi segelintir pendukungnya.
Lalu, apa dampak terhadap masyarakat banyak akibat ketidakjelasan Pilkada Aceh?
Yang paling jelas saat ini apatisme sudah mulai muncul. Masyarakat sudah bosan mengetahui perdebatan tidak produktif yang selama ini dilakukan terkait pengulur-uluran waktu Pilkada.
Situasi ini bahkan bisa mengarah kepada antipati. Mereka pasti semakin tidak menyukai calon yang didukung kekuatan politik yang suka pamer kekuasaan, keras kepala, dan tidak santun. Masyarakat luas saat ini saya lihat semakin tidak menganggap penting siapa yang menjadi gubernur, bupati, atau walikota. Karena pengalaman lima tahun terakhir ini Aceh tak kunjung mampu berada di depan jembatan emas kesejahteraan yang dijanjikan. Perilaku koruptif dan hedonis elite politik juga semakin menyebabkan masyarakat kehilangan harapan pada Pilkada. Bisa jadi nanti masyarakat akan menyerahkan suaranya pada tokoh alternatif.
Menurut Anda apa sebenarnya pangkal masalah dari munculnya konflik politik dan regulasi mengenai Pilkada ini, apakah gara-gara persaingan Partai Aceh dengan Gubernur Irwandi Yusuf yang akan maju lagi, atau?
Permasalahan sekarang lebih kompleks. Salah satunya adalah dengan pendiamnya parnas (partai politik nasional) terkait kemelut Pilkada ini. Saya pikir parnas ingin mengambil untung dari konflik internal Partai Aceh, dan menganggap ia bisa selamat.
Situasi kusut masa politik selama ini disumbangkan baik secara langsung pihak yang setuju atau tidak Irwandi maju di Pilkada sebagai calon independen dan kelompok yang membiarkan pertengkaran itu terus berlanjut.
Cara paling tepat adalah Jakarta perlu bertindak. Jangan sampai kasus Pilkada di Papua Barat, yang menghabiskan banyak biaya, konflik, dan nyawa, kembali terulang. Jika sampai ini terjadi di Aceh, elit-elit politik dan partai harus menanggung dosa politik kolektif. Saat ini sebenarnya dibutuhkan saling pemahaman bukan saling pengklaiman.
Artinya, sekarang Jakarta menjadi ‘pahlawan’ bagi Aceh? Apalagi belakangan ini, sedikit ada masalah antarsesama Aceh, para elit Aceh langsung minta dimediasi Jakarta?
Kita sendiri yang telah mengangkat Jakarta sebagai pahlawan, karena secara internal kita tak mampu menyelesaikan konflik kepentingan. Makanya saya semakin meragukan konsep self-government akan mampu dijalankan sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintahan Aceh jika hal seperti ini saja harus sampai dimediasi Jakarta. Satu lagi membuktikan bahwa elit Aceh belum cukup matang dan dewasa.[]
Source : Atjeh Post
Posted with WordPress for BlackBerry.